Kawitan | Awalan

16.3K 650 2
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

ARYO duduk di balkon kamarnya. Sembari menunggu senja mengguratkan warnanya. Sesekali ia menghela napas. Duduk di kursi single dengan posisi jigang.

"Punya istri..tapi, serasa mbujang." (Mbujang : single atau masih perjaka). Gumamnya sambil mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus bekas cukuran. Dan melirik meja kecil di sampingnya.

Kosong. Tak ada kopi, apalagi cemilan ringan.

Aryo tak sadar akan kehadiran sosok wanita yang sedari tadi mengamatinya dari belakang. Siapa lagi jika bukan Ningrum--Istrinya.

Ningrum yang mendengar sayup-sayup gumaman sang suami. Mengelus dadanya. Tersirat rasa sebal dan bibir yang mengerucut ke depan kira-kira 5cm.

'Maido ning mburiku! Yo opo krungu aku, Mas-Mas.' (Membicarakanku di belakang. Apa aku akan dengar, Mas-Mas). Ningrum pun menghentakkan kakinya dan pergi meninggalkan kamar.

"Lho, Rum. Mau kemana?" Tanya Bu Anjar--Mertua Ningrum.

"Ke dapur, Bu."

"..." Ibu Anjar pun tak menjawab.

Dirinya memilih melanjutkan acara nonton TV-nya sore ini. Sinetron azab yang setiap sore tayang, sudah bertengger di layar lebar itu.

Sedangkan di dapur, Ningrum dengan cekatan meraih cangkir dan mencari keberadaan bubuk hitam.

Satu sendok penuh kopi dan dua sendok gula, dia masukkan ke dalam cangkir. Kemudian, dilanjutkan dengan menuangkan air panas yang ia ambil dari termos.

Selesai. Ia mengaduk kopi buatannya. Sedikit senyum dan kebahagiaan membuncah. Ia merasa, perasaan di hatinya tidak seperti saat ia menyuguhkan secangkir kopi pada sang Abi.

"Rum, kopi buat Mas Aryo?" Bu Anjar melirik sekilas. Ningrum tersenyum kikuk. Pasalnya, ini pertama kalinya ia membuat kopi untuk Aryo setelah dua minggu menikah.

"Ya sudah.. antar segera. Dia pasti suka, Rum." Bu Anjar tersenyum tulus, dan kembali mengalihkan perhatiannya pada TV.

Ceklek..

Pintu kamar terbuka. Aryo masih dengan posisi yang sama. Membelakanginya dan menikmati senja sore ini.

"..." Tak ada kata yang terucap dari bibir Ningrum.

Ia meletakkan kopinya di meja kecil, tepat di samping Aryo duduk.

"..." Aryo pun menaikkan sebelah alisnya. Melihat Ningrum yang meletakkan secangkir kopi dengan sedikit kasar.

Tak ada senyum.

Tak ada ucapan sopan.

Padahal, sudah menjadi kewajibannya untuk melayani suaminya dengan baik.

"Ning?" Ningrum yang hendak membalikkan badan pun berhenti seketika.

Panggilan Aryo padanya sarat akan kelembutan. Walau Ningrum tahu jika mungkin Aryo marah karena ia tak sopan.

"Kenapa? Maaf gak ada cemilan. Nggak sempat buat gedhang goreng." (Pisang goreng).

Aryo tersenyum dan menatap Ningrum. Ningrum yang mendapat senyum malah merutuki dan mengutuk jantungnya yang berdebar-debar. Sial.

"Nggak apa-apa. Makasih ya.."

"Iya." Ningrum membalikkan badannya.

Sebelum pergi Ningrum menoleh dan berkata, "Mas, mbok ya lak butuh opo-opo iku omong. Ora usah maido ning mburi. Aku ora krungu!" (Mas, kalau butuh apa-apa itu ngomong. Nggak usah membicarakanku di belakang. Aku tidak dengar!)

Seusai Ningrum berlalu. Aryo mengambil secangkir kopi buatan istrinya itu. Menyesapnya perlahan dan menikmatinya dengan pemandangan sore ini. Benar-benar nikmat.

Aryo tak menanggapi ucapan pedas yang Ningrum lontarkan kepadanya. Sudah biasa baginya. Bukan berarti Aryo tak paham bahasanya. Ia hanya tak ingin bertengkar dengan wanita yang dicintainya.

Ya. Dicintainya. Sangat.

Sejak kapan?

Sejak pertama bertemu saat di Terminal Bis, ketika meminang, dua hari sebelum akad nikah, saat akad nikah hingga sekarang dan insya'allah sampai menutup mata. Nanti...

•••

Kang Mas! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang