CHAPTER 19

1.1K 133 5
                                    

Hujan salju kembali turun di akhir minggu pertama bulan januari, benar-benar membuktikan bahwa musim dingin kali ini adalah yang terparah. Meski bukan badai salju namun tetap saja suhu udara menjadi sangat dingin dan sebagian orang mungkin lebih memilih untuk menikmati waktu dalam rumah daripada berjalan-jalan dijalanan bersalju yang licin dengan suhu udara yang extreme.

Ino melangkahkan kakinya di trotoar sudut kota, menyusuri barisan pertokoan yang sebagian besar tutup dan hanya ada beberapa saja yang tetap memilih membuka tokonya. Terlebih lagi di jam menjelang senja seperti ini.

Ia menghembuskan napasnya dan membuat uap dingin yang membuktikan betapa dinginnya udara saat ini.

Langkah kaki Ino membawanya pada sebuah toko penyedia perlengkapan musim dingin yang masih buka meski tak tampak seorang pun yang datang untuk sekedar melihat-lihat. Tatapannya menatap kosong papan nama toko itu yang sudah tampak kusam dan mengelupas mungkin karna termakan usia. Ingatannya memutar kejadian sederhana namun begitu berkesan yang tak pernah sedetikpun terlupakan dalam ingatannya.

"Menurut mu mana yang lebih penting, syal atau sarung tangan?"

"Tentu saja mantel."

"Aku tak bertanya itu bodoh!"

"Hahaha beli saja semuanya."

"Dasar orang kaya!"

Tanpa sadar tawa kecil mengalun indah dari bibir Ino yang mulai memucat karna hawa dingin. Tatapannya menyendu dan aquamarine itupun mulai berkaca. Ino menggelengkan kepalanya cepat lalu menatap papan nama itu sekali lagi. Ia berniat untuk beranjak sebelum sebuah suara menghentikan langkahnya,

"Hei nak! Masuklah dulu, hujan salju sepertinya akan bertambah deras" panggil seorang wanita paru baya. Ia membuka setengah pintu tokonya dan menawari Ino untuk masuk dengan senyum ramahnya.

Ino menundukkan kepalanya berfikir sejenak sebelum ia memilih untuk melangkah mendekat ke pintu masuk toko itu.

"Aku membuat coklat panas dan sedikit biskuit, cobalah." nenek tua itu meletakkan sepiring biskuit rumahan dan secangkir coklat panas yang asapnya masih mengepul.

"Terimakasih."

Ino menyesap pelan coklat panas itu membuat tenggorokannya menghangat.

"Aku mengingat mu, dulu kau sering kesini dengan teman mu yang berambut unik itu." ucap nenek tua itu dengan senyuman lembutnya.

"Iya.." Ino menunduk dengan jarinya yang mengusap pelan pinggiran cangkir coklat panas itu.

"Tahun ini kalian tak kemari.. Padahal biasanya sebelum natal kalian selalu mempir kesini sekedar untuk membeli syal, sarung tangan, atau bahkan hanya merecoki toko ku." tawa kecil tercipta di wajah keriput nenek itu.

Ino tersenyum tipis meski hatinya terasa janggal. " kami cukup sibuk tahun ini, maaf tak bisa berkunjung nek." Ucap Ino dengan wajah bersalah.

"Hahaha tenang saja. Aku hanya suka setiap kali melihat kalian. Kalian mengingatkanku pada sahabat ku yang sudah tiada.." terdapat sedikit nada getir didalam kalimat itu namun Ino tetap melihat senyum lembut di wajah itu.

Ino menundukkan kepalanya dengan sorot mata nya yang menyendu. Raut wajah itu tak lepas sama sekali dari tatapan lembut nenek tua di hadapannya. Nenek itu mengulas senyum lembut,

"Kau tahu, dulu aku sering bertengkar dengan sahabat ku itu. Dia sangat temperamen. Emosi nya begitu mudah berubah. Terkadang aku juga lelah menghadapi segala sifat buruknya itu." nenek itu membuka suara dengan pandangannya yang menerawang.

Ino mengangkat kepalanya, dan menatap nenek itu dengan sorot mata penasaran.

"Kadang kami sering bertengkar karna sifat egoisnya itu, namun itu pasti tak akan bertahan lama. Dia akan meruntuhkan ego nya dan datang pada ku lalu meminta maaf. Yahh, walau aku akui kadang aku sendiri juga sering egois." nenek itu terkekeh kecil dan suara tawanya menular pada Ino. Entah kenapa Ino merasa nyaman dengan nenek itu.

SISTER'S✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang