Chapter Eleven

2.7K 136 1
                                    

Aku dan Gladys berjalan mencari apartemen yang lumayan untuk aku tinggali. Setidaknya aku memiliki tabungan sedikit untuk membayar uang sewa apartemen untuk beberapa bulan.

Ponsel Gladys berdering dan ia mengangkat nya. Wajahnya tiba-tiba terlihat kaget dan ia menatapku. Aku menunggu dirinya usai menerima telfon.

"Apa kau yakin, Nathan?"

Gladys kembali menatapku dengan wajah yang tak bisa ku tebak apa maksudnya. Itu adalah Nathan. Untuk apa dia menelfon Gladys?

"Oke baiklah. Segeralah kesini."

Gladys mematikan telfon nya. Ia menatapku lagi. Aku tidak tau kenapa Gladys sering kali menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku tebak.

"Ada apa?"

"Nathan ingin menjemputmu."

Aku cukup terkejut mendengarnya, "Menjemputku? Kemana?" Gladys hanya menggeleng. Tanpa banyak bertanya lagi akhirnya aku dan Gladys menunggu kedatangan Nathan di sebuah taman yang tadi kami sempat lewati.

Nathan benar-benar membuatku penasaran. Sikapnya yang aneh, caranya menatapku, dan hubungannya dengan Loren itu semua membuatku penasaran akan dirinya.

"Itu dia."

Aku menatap lurus saat Nathan berjalan menghampiri kami. Dia mengenakan kemeja dan celana jeans.

"Kau mau membawanya kemana, Nathan?"

"Ke suatu tempat. Bye, Gladys."

Nathan meraih tanganku dan membawaku masuk kedalam mobil sebelum aku sempat bertanya kemana ia akan membawaku. Wajah Gladys tampak kesal. Dengan cepat aku mengirimkan pesan padanya bahwa aku minta maaf karena harus meninggalkan nya begitu saja.

Didalam mobil tak ada satupun dari kami yang membuka suara. Nathan hanya diam dan fokus pada jalan. Begitu juga aku yang hanya fokus pada pemandangan luar yang sangat membosankan.

"Bagaimana perasaanmu?"

Aku melirik Nathan, "Membaik." Jawabku. Nathan hanya mengangguk dan setelah itu kami tak berbicara lagi. Nathan berhenti disebuah gedung yang sangat tinggi dan megah.

"Kau akan membawaku kemana?" Nathan hanya diam dan mengambil koperku untuk ia bawa. Aku segera turun dari mobil dan mengikutinya masuk kedalam.

"Welcome, Mr. Wade." Seorang resepsionis memberi sapaan serta sedikit membungkuk padanya. Aku sedikit terkejut kalau Nathan akan diperlakukan secara istimewa seperti tadi.

Aku meraih tangannya agar ia berhenti. Nathan menatapku datar.

"Jawab aku, Mr. Wade. Kau akan membawaku kemana?"

Nathan membuang mukanya dan mendengus pelan, "Bisakah kau diam dan mengikuti saja tanpa harus banyak bertanya, Anna? Aku hanya ingin membantumu."

Baiklah, lebih baik aku diam dan tak banyak berbicara sebelum Nathan marah besar padaku dan mencium ku seperti kemarin-kemarin. Aku merasa pipiku panas saat mengingat dirinya menciumku tanpa izin, itu sangat sexy.

Kami berdua masuk ke dalam lift dan Nathan menekan lantai yang paling tinggi dari gedung ini. Saat lift terbuka, aku menatap hal di depan ku. Yaitu sebuah penthouse mewah.

Nathan membuka pintu penthouse tersebut dan kemudian melangkah masuk. Apa ini adalah miliknya? Kupikir dia tinggal di frat?

"Apa kau ingin berdiam diri disana dengan segala pertanyaan yang ada di otakmu, huh?"

Aku tersadar. Akhirnya aku mengikutinya masuk dan ia berjalan ke sebuah kamar yang sangat besar sekali.

"Ini penthouse ku. Kau bisa tinggal disini jika kau mau."

Aku terngaga. Ia membiarkanku untuk tinggal di sini? Seorang diri? Yang benar saja.

"Um, Nathan. Aku sangat berterimakasih atas tawaranmu. Aku tidak bisa tinggal sendirian di rumah yang sangat besar ini, kau tau? Ini aneh, tapi.. bukankah kau membenciku?"

Nathan melangkah maju, "Kapan aku bilang kalau aku membencimu?" Aku mulai merasa canggung akan kondisi ini. Nathan terus melangkah maju dan aku terus saja mundur hingga tak sadar aku menabrak ranjang hingga membuatku terduduk disana.

Nathan sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya padaku, "Katakan." Aku menggeleng. Nathan benar, dia tidak pernah berkata bahwa ia membenciku. Tapi melihat dirinya tidak suka jika aku ikut campur tentang dia dan Loren, cukup membuatku mengambil kesimpulan bahwa dia membenciku.

"Aku hanya tidak suka kau ikut campur dengan urusanku, Anna. Itu saja."

Aku menatapnya. Diam. Dan tak bergerak. Dapat aku rasakan nafasnya berhembus mengenai wajahku.

"Um, yeah. Maaf. Tapi aku tetap tidak bisa tinggal disini. Aku lebih baik mencari apartemen murah untuk aku tinggali. Ini bagus.. yeah, sangat. Tapi aku tetap tidak bisa."

Nathan kembali menegakkan tubuhnya, "Why?"

"Karena.."

Tiba-tiba saja lampu padam dan sontak aku berteriak sangat kencang dan memeluk tubuh Nathan.

Aku trauma dengan gelap. Dan ini sungguh sangat gelap. Nathan mencoba menenangkan diriku dan memelukku.

Saat lampunya kembali hidup, aku langsung menjauhkan tubuhku dari Nathan. Nafasku memburu seperti orang habis berlari.

Nathan menatap wajahku dengan seksama, "Apa kau takut gelap? Itu alasanmu tak mau tinggal disini?"

Aku mengangguk. Rumah ini sangat besar dan tentu saja aku tidak ingin tinggal disini sendirian. Jika saja hal seperti tadi terjadi, aku tidak yakin aku akan kembali bernafas saat lampunya kembali nyala. Memang konyol, tapi itulah yang aku rasakan.

"Maaf."

"Maaf untuk?"

"Karena memelukmu." Aku merasa malu dan menundukkan kepalaku. Nathan terkekeh pelan dan meraih wajahku. Dia mendekat, semakin mendekat hingga bibir nya menyentuh milikku.

Kali ini aku mencoba menjauhkan diriku agar tidak terlena akan ciumannya. Nathan sedikit terkejut melihat diriku yang mencoba menjauh.

"Kenapa kau selalu menciumku?" Tanyaku pelan.

"Karena aku ingin."

"Bahkan kita baru kenal, kita bukan teman. Dan kau.. menciumku. Why?"

Nathan melangkah mendekat dan berbisik padaku, "Like i said, Anna. Because i want."

Ia menggigit daun telingaku dan membuatku berteriak pelan. Semakin hari Nathan bersikap semakin aneh. Tapi bodohnya aku, aku suka.

"Please. Kiss me, Anna." Ia mendesah tepat di telingaku.

Apa aku tak salah dengar? Ia mendesah? Holly shit, Anna. Tak ada satupun laki-laki yang mendesah di telingamu selain Nathan.

Aku hanya diam. Dan diamku menjadi jawaban bahwa, 'yeah, you can do that. You can kiss me!' Aku merasa jijik dengan pikiranku saat ini. Nathan tersenyum miring dan mencium ku dengan perlahan. Bibirnya sungguh manis! Betapa bodohnya aku menolak dirinya untuk mencium ku.

Aku membalasnya hingga tak lama, aku mendorong pinggang nya menjauh dariku. Aku tak bisa berlama-lama berciuman dengannya. Sungguh aneh jika aku menikmati berciuman dengan seseorang yang baru saja aku kenal.

"Beristirahatlah."

Aku menahan tangannya, "Kau mau kemana?" Dia terkekeh pelan.

"Aku ada di kamarku. Kau tenang saja." Dia mengelus puncak kepalaku dan lekas pergi meninggalkan diriku yang duduk diam tak percaya akan semua ini.

Nathan sungguh membuatku bingung. Kemarin ia memintaku untuk tidak masuk ke dunia nya. Sekarang? Ia menyeretku untuk masuk kembali dan tak melepasku pergi.

To Be Continued.

_________________

JANGAN LUPA VOTE!

LUV U!
__________________


GOMAWO!

The JERK From SEATTLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang