9) Kehidupan si penyemangat

100 7 1
                                    

Reyhan sudah duduk di samping Rain. Di danau. Tempat Rain biasanya menyendiri. Biasanya ada Hana, tapi Rain tidak tahu dia ada atau tidak. Rain sama sekali tidak menoleh ke atas pohon. Mungkin mulai saat ini, kalau Rain ke sini lagi dia tidak akan menoleh ke atas pohon. Agar semuanya kembali seperti semula. Dia dan Hana hanyalah dua orang asing, dan selamanya akan tetap begitu.

"Gue mao berbagi kehidupan sama lo," ucap Rain.

Reyhan mengangguk, mengisyaratkan kalau dia akan mendengarkan.

"Ada seorang anak laki-laki. Hidupnya sempurna. Dia pinter, anak dari orang kaya, dan ganteng. Ya sempurna hidupnya, walaupun kedua orang tuanya tidak pernah mengatakan bahwa mereka menyayanginya. Walaupun kedua orang tuanya tidak pernah berbicara bersamanya, tertawa bersamanya, berbagi kesulitan bersamanya. Tidak pernah. Hanya pembantu. Hanya pembantu yang menemaninya. Bukan, orang tuanya tidak terlalu sibuk juga. Mereka sering pulang ke rumah, tapi hanya di habiskan waktu itu, untuk berdua. Mungkin karena mereka memang masih muda.

Rain berlari menghampiri pembantu yang sudah dia anggap seperti ibu. Dia mendekap sang ibu. Saat ini, mereka sedang berada di gerbang sekolah Rain. Pembantu itu memang sedang menjemputnya.

"Bibi, bibi. Emang mama sama papah ke mana sih? Kok nggak pernah jemput aku. Nggak pernah ngomong sama aku lagi. Padahal di kelas temen-temen aku semuanya dianterin orang tuanya ke sekolah, di bawain bekel, di temenin sekolah juga," ucap bocah kelas 4 Sd itu.

Seorang yang di panggil bibi itu tersenyum, "Mereka ada sayang. Cuma, mereka sibuk. Jadi kamu harus maklum ya. Kan mereka cari uang buat kamu juga"

Rain mengangguk semangat, "Iya nggak apa-apa. Rain tetap sayang mereka!"

"Dia sangat pintar. Di kelas 4 Sd dia lompat kelas jadi kelas 6. Saat kelas 7 atau 1 Smp, dia lompat kelas lagi jadi kelas delapan. Prestasinya jangan di tanya lagi, segudang. Tapi orang tuanya nggak ada yang peduli. Sampai suatu hari, saat dia lagi jalan pulang, dia di culik.

Perih.. Perih.. Tangan Rain perih. Rain melihat sekitar. Gelap, semuanya gelap. Gelap, pengap dan berdebu. Dia juga tidak bisa menggerakkan tangannya dan kakinya. Keduanya mati rasa.

Dilihatnya kakinya. Pengikat kabel. Pasti benda berwarna putih dan berbahan karet itu, yang juga mengikat tangannya. Rain mengernyitkan dahi, "Dimana ini?" tanyanya pelan.

Tiba-tiba seorang pria masuk ke ruangan itu. Wajahnya gelap, hanya tampak tubuhnya. Dia mengenakan switer hitam, celana jeans abu-abu, dan sandal swallaw.

"To.. Tolong lepaskan saya!" teriak Rain.

Laki-laki itu tertawa. Suaranya menggema di ruangan pengap itu. Tiba-tiba dia berhenti tertawa. "Berteriaklah sesukamu. Tidak akan ada yang mendengar. Oh iya, anak kecil, aku akan membebaskanmu. Tapi saat ibumu datang ke sini dan bersedia menikah denganku. Hahahaha...."

Orang itu pergi, kembali mengunci pintu. Rain mencoba mengeluarkan tangannya dari pengikat kabel itu. Tapi mustahil, itu tidak akan bisa di buka kecuali dengan gunting. Rain berteriak, berharap ada orang yang menolongnya.

"Saat di culik. Setiap hal yang dilihatnya, membuat dia takut dan trauma. Seperti pengikat kabel dan lainnya.

Hujan. Hujan. Rain tahu dia datang. Saat ini Rain sedang bersedih karena orang tuanya tak kunjung datang, terutama ibunya, yang dinantikan sang penculik.

Tiba-tiba air menetes ke kepala Rain, bocor. Bocor di mana-mana. Bukan hanya atap di atas kepala Rain. Tapi Rain tidak berani teriak, takut bertambah di siksa. Dia bungkam. Hanya melihat semua kejadian itu. Lama-kelamaan, hujan berhenti. Tapi di sudut-sudut ruangan, Rain melihat cacing-cacing mulai menghampirinya, begitupun dengan lintah. Awalnya Rain biasa saja menanggapinya.

Apa Itu Cinta? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang