O4

1.6K 263 6
                                    


langit hampir pekat. saat itu aku tergeming pasrah sembari merapatkan jari-jariku. ya itu, hanya bisa berdoa semoga daris bisa pulang ke rumah.

dia sudah sembilan belas tahun, tapi kupikir jiwanya masih berusia tiga tahun. jadi begitu.

di dalam bis penuh manusia, aku terduduk lemas di bangku yang ─cemong, dekil, coreng-moreng, dan ternodai ─ itu. untungnya masih sanggup menopang tubuhku ini.

"dik, naha guligah aja?"

mataku yang awalnya terpejam sontak terbelalak, wajar, daritadi was-was saja di kendaraan umum seperti ini. aku menoleh mendapati pria tua dengan topi baretnya.

"s, saya ─" aku menggaruk tengkuk bingung. kalau bilang terpisah sama pacar, mungkin pria tua ini akan mengira yang aneh aneh.

"saya t-terpisah sama pacar." ujarku ragu, "dompet saya sama dia" lanjutku kemudian tertunduk.

kira-kira umurnya sudah tujuh puluhan, jadi tidak heran responnya tidak seperti yang diduga-duga. bahkan mungkin mendengar jelas suaraku yang terkalahkan oleh mesin bis saja tidak.

"pak, saya nggak punya uang, benda berharga yang ada di saya satu-satunya cuma ini," aku melepaskan jam tangan yang sebelumnya melingkar di pergelanganku, kemudian memberikan padanya. "jam tangan ini buat bapak, sebagai gantinya, tolong bayarin ongkos pulang saya"

pria tua itu tertawa, dengan susah. kemudian dia terbatuk-batuk, dan membenarkan posisi topi baretnya sebelum berbicara. "jam tangannya tidak usah, dik. saya sudah punya" katanya disambil mengeluarkan lembar uang tujuh ribu rupiah.

aku sangat berterima kasih padanya, kalau tidak ada pria itu mungkin saja aku tidak akan bisa kembali ke rumah.














suara bunda tepat di pukul setengah tujuh pagi membuatku terlonjak dari kasur. hari ini hari senin, kejadian semalam membuatku sedikit tumbang di pagi ini.

ditambah lagi ucapan bunda barusan, yang katanya daris datang.

tok tok

"bi, buka dong, ini daris"

AWAN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang