aku selesai dengan kegiatan meneguk secangkir macchiato sambil sesekali melirik pemuda di hadapanku yang gelagatnya tak mudah diterka-terka. tidak ada yang mencurigakan, sih. namun sedikit ganjil bagiku melihat kehadirannya begitu mendadak semenjak daris menghilang.
kalau mau tau, dia tak seaneh yang mungkin akan kalian bayangkan, parasnya pun tak kalah majestic. hangat auranya mampu mengingatkanku pada daris, tapi mereka jelas berbeda.
"kak dildar datang jauh-jauh ya, ke rumahku?" aku membuka pembicaraan, mencari cara untuk bercakap setidaknya tak hanya terduduk manis tanpa obrolan dan membuang waktu.
pemuda itu tertoleh, memanglingkan atensinya dari jendela ke arahku. sudut bibirnya tertarik perlahan, tulus, seperti habis meneguk kopi hangat di pagi dan sorenya.
"nggak jauh, arimbi" pemuda yang lebih tua lima tahun dariku itu tertawa canggung. bagaimanapun juga aku ikut tertawa, biar tak tahu dimana lucunya. "oh ya, gimana sekolahnya? kamu tahun terakhir, kan?"
oh? tumben sekali.
kami tak begitu dekat, bahkan selama ini bicara dengannya saja bisa dihitung pakai jari.
"alhamdulillah, kadang di luar ekspektasi, tapi, yah mau gimana lagi!" ucapku pakai nada-nada sok asik supaya tidak terlihat canggung.
kak dildar mengangguk kemudian kembali menyeruput minumannya. sudah? sampai situ saja pembicaraannya?
bukan, aku bukannya menginginkan lebih, berekspektasi lebih atau bagaimana, tapi apa pertemuan ini tanpa tujuan? aku pikir dia ingin memberiku kabar soal daris, barangkali. atau entahlah, apapun itu.
"arimbi,"
"ya?" sergapku tanpa memberinya kesempatan lanjut bicara, antara panik atau menanti-nanti oknum ini bicara. tapi tidak juga.
"kamu minggu depan ada waktu lagi?" tanya kak dildar dengan wajah santai, tak merasa bersalah, tak bertanggung jawab atas aku yang panik saat itu.
responku refleks tertegun, seakan tidak percaya sama ucapan kak dildar. arimbi berlebihan. benar. tapi, maaf? apa dia ingin meminta waktuku lagi?
aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, sampai berpikir yang aneh-aneh tentang satu taruna di hadapanku. wajahnya pun sepenuhnya serius, membuatku yakin kalau ucapannya pun serius.
"kak, aku..."
pemuda itu mengangkat kedua alisnya bersamaan. "hm?"
"aku lagi gak mau dekat dengan siapa-siapa." jawabku ragu sembari menunduk malu, tak tahu harus taruh dimana wajahku ini.
seketika aku tertegun, lagi. kak dildar malah tertawa terbahak-bahak sebagai responnya. sedangkan aku tidak berani bergerak barang sekali, seratus persen malu.
ia memijat pelipisnya. "aku udah prediksi bakal begini"
"kamu salah nangkep ya, arimbi?" tanyanya dengan tawa yang belum sepenuhnya reda. ia memandang wajahku dan menatapku seakan aku anak kecil. walaupun itu fakta. "m-maaf, mungkin aku terlalu gerak cepat sampe kamu bingung sama sikapku ya?"
aku tergeming, menatap balik kak dildar tak kalah bingungnya. ia masih tertawa seperti tadi, sampai tak lama kemudian tawanya berhenti dan ia tersenyum simpul.
"arimbi, aku gak seharusnya bilang ini," kata kak dildar memenggal ucapannya. lalu ia terlihat sedikit menarik nafas, "sebenarnya, daris menyuruhku buat lakuin ini, yang awalnya aku gak mau. tapi dia bersikeras banget dan bilang kalau aku harus nemenin kamu gantiin dia."
"dengan begini, aku harus memastikan kamu baik-baik aja dan daris juga mau tau kabar -"
"-kenapa? kenapa yang ngelakuin ini harus kak dildar? dan kenapa gak dia aja yang ngelakuin?" aku memotong ucapannya. sejujurnya, walaupun tujuan daris atau bahkan kak dildar baik, aku tetap sedikit kecewa. tak seharusnya daris menjadikan kak dildar sebagai jembatan di antara aku dengannya.
"kamu bakal tau nanti, arimbi."
dildarkara gautama
makasih buat yang kasih saran visualnya dildar <3