"arimbi, aku didepan. boleh buka pintunya gak?"
dia datang.
iya, daris datang setelah sekian minggu tidak ada pertemuan. dan ini seminggu setelah aku mengetahui suatu 'hal' yang tidak terduga.
jahat, aku sedang mengusahakan diri untuk bangkit dari semua, dan di saat seperti ini dia malah datang seakan meruntuhkan pertahananku.
beruntung, aku masih mampu menguatkan diri.
percayakah? jika aku bilang sedang berusaha setegar batu karang, menyiapkan hati agar tetap sekuat baja dan mengubur semua keluhan dalam-dalam, takut akan salah jika diungkapkan.
gagang pintu yang kugenggam ini seakan jadi saksi betapa kacaunya aku ketika harus bertemu dengannya di saat seperti ini.
cklek!
"ada ap ─"
"hai..."
sialan, hampir runtuh. hampir.
segera aku berjalan keluar lalu menutup pintunya.
ya tuhan, kalau bunda tau daris datang di pukul sembilan malam seperti ini, mau diapakan aku?
"kenapa?" tanyaku cukup singkat. muak, tapi bohong kalau aku bilang aku membencinya.
sedetik setelahnya, ia merengutkan kening. "emangnya gak boleh kalo mau ketemu?"
"udah jam segini loh"
dia mengangguk kemudian menoleh kearahku. tersenyum tipis dan berkata. "arimbi cantik"
tck. tahan, barangkali ucapan seperti itu hanya penenang.
"daris," aku balik menoleh, mengalihkan ucapannya. "aku mau tanya"
"apa?" jawabnya cepat tanpa membiarkan adanya selang waktu sedetikpun.
"aku siapa?" tanyaku. "aku ini siapa untukmu?" dia tersentak hebat. pandangannya lurus kepadaku.
daris meneguk salivanya, seakan jadi ancang-ancang untuk bicara. "ya, kamu arimbi. arimbi m-milikku, kenapa masih dipertanyakan?" aku bisa melihat kekecewaan di manik matanya. padahal tanpa dia tau aku lebih kecewa setelah kejadian beberapa waktu lalu.
"kita sudahi aja semua, gimana?" lagi, dia tersentak lagi. rautnya penuh dengan kecewa mendengar ucapanku barusan.
dia tertawa tak tulus. mengusap wajahnya kasar dan mencoba menatapku sungguh-sungguh. "a-aku gak ngerti, maksud kamu gimana?"
aku menghela nafasku berat. memilih mengalihkan pandangannya, dan lebih baik melihat disekelilingku.
tidak mengerti bagaimana bisa aku merasa setakut ini pada malam hari. bukan, bukan takut pada hal-hal yang ada di waktu malam, melainkan takut pada hal yang mungkin saja terjadi di waktu itu.
gelisah, pikiran setan yang tidak-tidak, atau apapun itu yang sering kuhadapi saat malam datang.
dan, kali ini pun serupa.
alisnya bertautan. "arimbi, coba jelasin" katanya memecahkan keheningan, dan aku tidak membalas ucapannya itu.
aku membungkam, begitu juga dia. sampai sekian detik berlalu, aku menoleh padanya. awalnya alisnya bertautan sampai wajahnya mengkerut, namun lambat laun rautnya berubah. alisnya terangkat bersama-sama seolah sadar akan sesuatu.
"kapan kamu ke rumah nilam?"