duk! duk!
kalau saja meja bisa berbicara, mungkin sekarang dia akan meraung-raung kesakitan karena sejak tiga puluh menit yang lalu permukaannya terus dibenturkan.
dibenturkan kepala daris yang meski ukurannya tidak seberapa besar.
oh, jangan khawatirkan mejanya kalau begitu. khawatirkan saja yang membenturkan kepalanya itu.
wajahnya mendadak penuh frustasi, dengan kegiatannya masih sama, yakni membenturkan kepala di permukaan meja belajarnya.
"idiot, ke meja doang mah gak bakal hancur. sekalian aja tuh di kaca jendela"
"berisik" sahut daris tanpa ada selang waktu.
sesaat setelahnya terdengar bunyi buku yang ditutup. sumber suaranya dari paling atas sebuah kasur tingkat. "gue senang hati bantuin sini"
"berisik, anj─
bruk!
tidak tepat sasaran begitu dilemparnya sebuah bantal, daris selalu saja gagal melawan kakak kandungnya itu.
"mau ngomong apa, ha?" ucap pemuda yang baru menginjak usia dua puluh dua tahun.
tak ada jawaban dari daris. terus membungkam kemudian rautnya berubah seakan dirinya sedang menahan sakit. "plis, dar, dada gue sakit"
tuan muda dildar terlihat kebingungan mendengar ucapan tuan muda daris. pasalnya adiknya itu terlihat baik baik saja sebelumnya.
"eh, tunggu, jangan mati dulu, ris"
"brengsek, serius ini gue"
suasana kamar adik─kakak itu tiba-tiba saja hening. masih dikeadaan yang satu menahan sakit, dan satunya lagi kebingungan.
+
"gue mau tinggal sama mama aja, dar" kata daris ragu, wajahnya tertunduk seketika terbayang wajah bundanya.
mama yang dimaksud adalah saudara kandung dari bundanya, yang mana dulu sempat mengasuh daris selama lima tahun.
"lo mikir tinggal sama tante gaudi lebih enak daripada sama bunda? ibu lo siapa sih?" tanya dildar yang masih di kasurnya. sedangkan daris di kasur bawah.
"dildar resek! bukan kayak gitu ah!" suara ribut dari kasur daris, sedangkan kakaknya tertawa puas. memang bukan seperti itu yang dimaksud daris. "kata dokter gue asma akut, ada gejala peradangan paru juga" jelas daris.
"ngapain minta duit berobat jauh jauh ke tante gaudi? duit bunda juga banyak"
daris menghela, memijat pelipisnya kemudian. dia menyesal memberi tahu kakaknya, yang memang pada dasarnya bukan tipe orang yang bisa serius.
"bukan gitu, gue cuman gak mau nantinya arimbi tau"
"tau apa?"
tbc