genap dua pekan sudah terlewati, tanpa pamit berlalu begitu saja. semenjak malam itu di mana terjadinya pertikaian antara aku dan daris yang sampai kini masih membekas di benakku.
aku tidak mengerti, rasanya ini semua terlalu cepat dan entah kenapa aku merasa paling jahat disini.
puluhan cara untuk melupakan daris telah kucoba, dari mulai mengabaikan pesan-pesan dan semua panggilannya. jahat sekali, 'kan?
dan kalian tau? aku merasa tersiksa hanya dengan melakukan hal-hal itu. batinku sakit. terlalu sakit untuk mengabaikannya seperti ini.
nilam bilang padaku, aku tidak boleh terlalu memikirkan apa yang sudah terjadi. ujian negara sudah didepan mata. iya, penderitaanku belum selesai sampai di sini.
"kok ambil komik?" tanyaku setelah menyeruput jus alpukat dingin. aku hanya heran dengan oknum yang sekarang duduk di hadapanku.
yang bersangkutan pun terkekeh. "bosen, dua puluh empat jam dalam tujuh hari cuman liat buku yang tebel-tebel. syukur-syukur kalo ada gambarnya" ia mengeluh seraya membangga-banggakan buku komik yang diambilnya itu.
"mending kalo beneran dibaca. paling juga dibuka doang, terus dibaliknya ada handphone buat main game. iya kan, tuan arel?"
aku sudah paham dengan baik bagaimana tuan muda adarel bramasta ini.
hari ini hari jumat. kebetulan memang kalau jumat pulang lebih cepat dan arel datang jauh-jauh kemari dari rumahnya untuk belajar bersamaku. padahal sebenarnya tidak.
"rel," arel menoleh bersamaan dengan tangannya yang memasukkan sebuah ciki kedalam mulutnya. "waktu itu arel pernah bilang"
"bilang apa?" ia bertanya ketika aku belum menyelesaikan ucapanku.
"waktu itu arel pernah bilang katanya daris ngurus surat pindah. berarti dia mau pindah, itu bener?" aku melanjutkan ucapanku.
"dih, kan arimbi muna deh!"
"hah? apa! orang cuman nanya tau!" gerutuku sambil mendaratkan pukulan ringan di bahunya. arel tidak salah, apa yang dia katakan benar. bohong kalau aku bilang aku sudah melupakan daris sepenuhnya.
arel tertawa renyah dengan ciri khas suaranya yang berat itu. "nggak tau, yang dia bilang ke gue waktu itu dia mau pindah. terus ke kota itu buat ngurus surat pindah" jelasnya.
"...emangnya gara-gara itu arimbi sama daris break? lagian kasih tau aja sih, pake dirahasiain segala!" lanjut arel, si ahli protes.
seandainya arel tau, bukan itu yang sebenarnya terjadi. pun kalau itu alasannya, tidak mungkin aku memilih untuk berhenti disini. iya, andai saja.
+
aku memutuskan untuk pulang ke rumah ketika melihat langit mulai meredupkan cahayanya. dua kemungkinan, malam akan tiba atau air tuhan akan segera mengguyur kota ini.
aku membuka ponselku, mencari-cari nomor teratas alias nomor kak gema. biasanya nomor teratas itu nomor milik daris, kali ini tidak lagi.
di saat seperti ini aku membutuhkan kak gema untuk menjemputku, apalagi melihat keadaan sudah tidak memungkinkan untuk pulang sendiri. oh iya, kalau ingin tau arel kemana, barusan ia pulang menggunakan kereta dan ia bilang bahwa tubuhnya sudah tidak sanggup berdiri lama-lama dalam busway. jadi memutuskan untuk menggunakan kereta.
besok arel akan datang lagi, menemaniku belajar di perpustakaan. iya, sekarang hanya arel dan nilam yang bisa menemaniku kapanpun. tapi kebetulan nilam sudah tidak punya banyak waktu lagi. di waktu seperti ini, gadis itu pergi ke sebuah tempat bimbingan belajar dan menghabiskan banyak waktu di sana.
astaga, aku terlalu banyak bercerita sampai lupa ingin menelpon kak gema untuk menjemput.
"missed call? seratus tiga puluh enam missed?" aku bergumam begitu membuka kunci layar ponselku. tumben, biasanya kak gema tidak akan menelpon sebelum kutelpon duluan.
aku memastikan lagi dan segera menelponnya.
"hah?"
ralat. bukan kak gema yang menelpon. tapi kenapa seratus tiga puluh enam panggilan itu dari daris?
mohon maaf ya gemes banget ini gatau kenapa