aku mencoba memahami penuturannya, "apa sih?"
"tadi ─" ucapan gadis di hadapanku ini terus membingungkan, sampai aku hampir frustasi memahami ucapannya. "ah! aku gak bisa kasih tau ah, bi"
ya, bagaimana? ucapannya itu terbata-bata, entah sengaja atau tidak, dan lagi dia bilang dirinya tidak bisa memberi tahu.
sialan, kalau tau begitu tidak perlu bikin aku penasaran begini.
tidak sampai disitu, aku masih terus memojokan nilam yang sedang sibuk mengunyah kue cokelat buatan aminya sampai dia mau bicara terus terang padaku.
"lam, aku pulang nih?"
"sok weh, pulang"
"nilam!"
bruk!
sebuah buku karya rupi kaur berhasil mendarat di perut nilam. si empu meringis kesakitan seraya mengusap-usap perutnya, kemudian mengumpat-umpat tidak jelas sambil terus berkata. "kunyuk, untung kuenya gak muncrat itu!"
sampai akhirnya aku kehilangan kesabaranku. sungguh, biarpun begitu aku tetap merasa ada yang tidak beres. tidak, belum terlintas apa yang tidak beres, tapi perasaanku saja tidak enak.
kali ini aku masa bodoh, dan memilih untuk meraih salah satu buku novel milik nilam dan membacanya. sambil sesekali mengecek layar ponsel, barangkali daris membalas chat-ku.
"arimbi," suara nilam terdengar samar.
"apa lagi!?" aku menutup kasar buku novelnya, memanglingkan pandangan ke arah nilam yang berjarak agak jauh dariku. aku di karpet bulu, sedangkan nilam di sofa.
"tenang, bi. dengerin aku baik-baik," ucapnya terjeda, bersamaan dengan alis kananku yang terangkat seakan menagih kelanjutan ucapannya. "perasaanmu gimana hari ini? ah, salah, detik ini maksudnya"
aku sedikit terbahak. konyol sekali sih, sebegitu susahnya ya untuk bertanya hal seperti itu?
"b-bukan, aku bukan mau bilang itu"
"mau bilang apa sih? jangan diputer-puterin gini dong!" lantangku yang membuat nilam menghela berat. beban sekali sepertinya, ada apa?
"please, tapi kamu tenang ya," aku mengangguk. "tadi sebelum kamu datang, ada yang datang. daris, aku kira dia bareng kamu, masalahnya ─"
"masalahnya dia sama cewek lain? dan kamu ngira itu aku, tapi ternyata bukan? bener kan, nilam?" ujarku dalam satu tarikan nafas. bodohnya, kalau soal ini aku tidak bisa menahan diri.
"maaf, arimbi"
wajahku memerah padam, tenggorokanku tercekat menahan ribuan kata yang sudah siap untuk dilontarkan. tapi apa? kenyataannya jiwa dan ragaku sudah penuh dengan ketidak-percayaan, namun apa yang dilihat nilam itu benar adanya.