Rangga, seorang Letnan Dua (Letda) di Kopassus, dikenal sebagai sosok yang tegas dan disiplin. Pagi itu, seperti biasa, ia menjalani rutinitas latihan fisik yang padat bersama rekan-rekannya di markas. Meskipun tubuhnya tampak bugar dan penuh semangat, pikirannya terasa kosong dan berat. Ada sesuatu yang selalu mengganggunya—sesuatu yang tak bisa ia hindari, meskipun kesibukannya sebagai prajurit elite memaksanya untuk tetap fokus pada tugas.
Nawalia.
Rangga tidak bisa mengusir bayangan gadis muda itu dari pikirannya. Walaupun Nawalia sering menunjukkan sikap ketus dan jarang memperlihatkan perhatian padanya, Rangga merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sikap kasar itu.
Setelah latihan, Rangga kembali ke ruangannya, mencoba menenangkan diri sejenak. Ia membuka ponselnya dan memandang pesan terakhir dari Nawalia—pesan singkat yang hanya berisi kata-kata tegas dan cenderung dingin.
"Terserah deh"
Rangga menghela napas panjang, menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Ia tahu Nawalia tidak ingin terlihat lemah di hadapannya, dan itu mungkin alasan mengapa dia selalu menepis segala bentuk perhatian yang diberikan Rangga. Tapi Rangga merasa ada sesuatu yang lebih—sebuah perjuangan yang tak terlihat di balik sikap kerasnya.
Namun, sebagai seorang prajurit, Rangga tahu bahwa kesibukan dan ketegasan dalam tugas adalah hal yang utama. Ia harus tetap fokus pada misi-misi yang diberikan, meskipun hatinya sering teralihkan oleh pikiran tentang Nawalia. Ia merasa bahwa, di dalam dirinya, ada sesuatu yang ingin dilindungi—entah itu Nawalia, entah itu rasa aman yang ia harap bisa diberikannya pada gadis itu.
Setiap kali Nawalia bertemu dengannya, Rangga mencoba mendekati Nawalia, berusaha berbicara dengannya dengan cara yang lembut, namun setiap kali ia berusaha, Nawalia selalu membalas dengan kata-kata tajam. Meski demikian, Rangga tidak menyerah. Ia merasa bahwa Nawalia sedang berjuang dengan sesuatu yang lebih besar, dan ia ingin membantu—meskipun kadang ia tidak tahu bagaimana cara yang tepat.
Pagi itu, setelah menjalani latihan yang melelahkan, Rangga memutuskan untuk menemui Nawalia. Ia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan bahwa gadis itu mungkin akan kembali menolaknya, tapi ia tidak bisa membiarkan dirinya ragu lagi.
Meskipun sibuk dengan tugas di Kopassus, pikiran Rangga selalu tertuju pada Nawalia. Setiap saat, ia berpikir tentang bagaimana bisa membantu Nawalia mengatasi ketakutannya, dan keraguannya, meskipun sikap Nawalia selalu menghalangi niat baiknya.
Ia berharap suatu hari nanti, Nawalia bisa melihatnya bukan hanya sebagai seorang prajurit, tetapi sebagai seseorang yang peduli dan siap memberikan dukungan ketika ia benar-benar membutuhkannya.
Suatu sore setelah selesai menjalani latihan, Rangga merasa bahwa waktunya telah tiba untuk melakukan sesuatu yang lebih. Pikiran tentang Nawalia yang terus mengganggunya tak lagi bisa ia abaikan. Meskipun ia tahu betapa sulitnya mendapatkan izin untuk mendekati keluarga Nawalia, apalagi mengingat statusnya sebagai seorang prajurit, Rangga memutuskan untuk mengambil langkah berani.
Dengan tekad bulat, Rangga pergi ke rumah keluarga Alvaro. Ia tahu bahwa ayah Nawalia, Rian Alvaro, adalah seorang Letjen Kopassus yang dihormati, seorang sosok yang sangat disiplin dan ketat. Mengetahui betapa protektifnya Rian terhadap putrinya, Rangga merasa sedikit cemas, namun ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendekatkan diri pada Nawalia.
Sesampainya di rumah keluarga Alvaro, Rangga disambut oleh Aprilia
"Rangga, cari Bapak yaa? Bapak sedang di ruang kerja, masuk saja" ucap Aprilia
Rangga mengangguk dan berjalan menuju ruang kerja Rian. Begitu sampai, ia mengetuk pintu dengan hati-hati.
"Permisi, Pak Rian, apakah saya boleh berbicara sebentar?" suara Rangga terdengar mantap meskipun sedikit tegang.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara Rian dari dalam.
"Masuk."
Rangga membuka pintu dan memasuki ruangan. Rian, yang sedang duduk di belakang meja kerjanya, memandang Rangga dengan tatapan tajam namun penuh rasa hormat.
"Ada apa Rangga?"
Rangga berdiri tegak, menjaga sikap hormat. Ia tahu bahwa untuk mendapatkan izin berbicara mengenai Nawalia, ia harus menyampaikan niatnya dengan jelas dan penuh pengertian.
"Pak Rian, saya datang bukan hanya sebagai seorang prajurit. Saya ingin meminta izin untuk menemui Nawal. Saya tahu saya bukan siapa-siapa bagi keluarga ini, tapi saya merasa sangat khawatir dengan kondisi Nawalia belakangan ini."
Rian mengangkat alisnya, mendengarkan dengan seksama.
"Kondisi Nawal? Apa yang kamu maksud Rangga?"
Rangga menatap Rian dengan penuh kesungguhan.
"Saya tahu Nawal sedang menghadapi banyak kecemasan, terutama terkait dengan seleksi PSDP TNI. Saya ingin memberinya dukungan, meskipun dia sering menolak saya. Saya ingin berbicara dengannya, memberi sedikit semangat dan menunjukkan bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya."
Rian memandangi Rangga lama, menilai setiap kata yang diucapkan. Beberapa detik terasa lama sebelum Rian akhirnya berbicara.
"Saya mengerti kekhawatiranmu, Rangga. Tapi, saya juga tahu betapa kerasnya Nawal. Dia tidak akan mudah menerima bantuan, apalagi dari orang yang belum dia percayai sepenuhnya." Rangga mengangguk, menerima kenyataan tersebut.
"Saya paham, Pak. Saya tidak ingin memaksa Nawal. Saya hanya berharap bisa sedikit memberi dukungan, entah itu dalam bentuk percakapan atau hanya menjadi pendengar yang baik"
Rian menatap Rangga lebih dalam, memikirkan sejenak. Sebagai seorang ayah, ia sangat melindungi Nawalia, namun ia juga tahu bahwa Rangga adalah seorang prajurit yang memiliki integritas dan kesungguhan hati. Rian menilai bahwa Rangga mungkin bisa menjadi orang yang tepat untuk memberi Nawalia perspektif yang berbeda.
Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Rian akhirnya mengangguk pelan.
"Saya akan izinkan kamu untuk menemui Nawal, tapi ingat, kamu harus menghormati batasan yang ada. Nawal tidak mudah membuka diri, jadi jangan memaksanya" Rangga merasa lega sekaligus terhormat.
"Terima kasih, Pak Rian. Saya akan menghormati keinginan Nawal dan tidak akan membuatnya merasa tertekan."
"Jaga sikapmu, Jangan pernah meremehkan Nawalia atau mencoba mendekatinya dengan cara yang salah," ujar Rian dengan tegas, namun ada sedikit senyuman di bibirnya, menunjukkan bahwa ia percaya pada keputusan Rangga.
Rangga membungkuk hormat, merasa lebih yakin dengan langkah yang akan ia ambil.
"Terima kasih atas kesempatan ini, Pak Rian. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
Setelah pertemuan itu, Rangga meninggalkan ruang kerja Rian dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa langkah berikutnya adalah bertemu Nawalia, dan ia harus hati-hati, menghormati jarak yang Nawalia tetapkan, serta tidak terburu-buru dalam mendekatinya. Namun, satu hal yang pasti—ia akan selalu siap memberikan dukungan, meskipun Nawalia tidak memintanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/187536235-288-k697164.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fly To Eternity
Não Ficçãocinta, kehilangan, dan pengorbanan, meskipun hidup penuh dengan ujian dan penderitaan, jiwa seorang pahlawan tetap terbang menuju keabadian.