10― SEBUAH PENYELESAIAN

863 128 11
                                    

"Sojung belum juga pulang, bu?" tanya Mingyu cemas.

Sudah pukul delapan malam, Sojung belum juga kembali ke rumah. Bukan apa-apa, tapi biasanya Sojung akan selalu menghubungi keluarganya jika akan pulang telat.

"Belum," jawab Ibu Sojung tak kalah cemas. "Coba kau hubungi Sojung lagi."

Mingyu mencoba untuk menghubungi Sojung lagi, tapi hasilnya sama saja, sepertinya ponsel Sojung tidak aktif.

"Masih tidak bisa di hubungi," kata Mingyu.

"Sojung... Kau kemana sih sebenarnya?"

Tak lama pintu terbuka, Mingyu dan Ibu Sojung awalnya mengira kalau itu Sojung, tapi ternyata bukan. Itu ayah Sojung yang datang.

"Ibu, kenapa?" tanya ayah Sojung kala melihat raut wajah cemas sang istri.

"Sojung, dia belum pulang sampai sekarang. Ponselnya juga tidak aktif," jawab ibu Sojung.

"Apa?!" Ayah Sojung menjatuhkan tas kerjanya kala mendengar bahwa anaknya belum juga pulang.

"Ayah," panggil Mingyu cemas karena sang ayah tampak begitu terkejut.

"Mingyu, cepat cari Sojung. Cari Sojung sampai ketemu!" titah ayah Sojung.

"I-iya, ayah." Mingyu buru-buru keluar dan masuk ke dalam mobilnya untuk mencari Sojung. Tempat  pertama yang di tuju adalah sekolah Sojung.

▫▫▫

Sojung cukup terkejut saat ayah Seokjin bilang kalau dia punya kakak perempuan.

"Tapi kenapa keluargaku sama sekali tidak pernah membahas tentang mendiang kakakku? Bahkan untuk sekadar berkunjung ke makamnya saja tidak pernah."

"Paman juga tidak mengerti kenapa mereka merahasiakan ini darimu," kata ayah Seokjin.

"Sudah kubilang, ayahmu itu sangat mencintaimu, makanya dia menjaga dan mengekangmu seperti ini," kata Seokjin.

"Tidak, bukan begitu. Ayahku hanya takut nasib kakakku akan terulang kembali padaku, makanya dia jadi seperti ini."

"Bagus kalau kau sudah mengerti, Sojung," kata ayah Seokjin.

"Omong-omong paman, siapa nama kakakku? Dan di usia berapa dia di bunuh?" tanya Sojung.

"Sora, nama kakakmu Sora. Dia di bunuh pada usia empat tahun," jawab ayah Seokjin.

"Empat tahun?!" Sojung cukup terkejut saat mendengar bahwa sang kakak meninggal karena di bunuh pada usia balita.

"Ayahmu sempat depresi kala itu. Dia terus menerus menyalahkan dirinya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan."

Sojung menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Siapa yang tega membunuh anak balita seperti kakakku?"

"Entahlah Sojung," jawab ayah Seokjin.

"Besok, sepulang sekolah, aku akan langsung menanyakan hal ini pada keluargaku."

"Iya, sudah saatnya kau tahu tentang ini. Tapi, bicaralah dengan baik, jangan terlalu memaksa mereka untuk menjelaskan lebih jauh tentang Sora," pesan ayah Seokjin.

"Yasudah kalau begitu. Sekarang, lebih baik kau istirahat, Sojung. Ayo aku antar kau ke kamar," kata Seokjin.

Sojung mengangguk, kemudian berpamitan kepada ayah Seokjin. "Aku istirahat dulu, paman. Selamat malam."

"Selamat malam," balas ayah Seokjin.

▫▫▫

Sesuai rencana, sepulang sekolah hari ini, Sojung akan kembali ke rumahnya di antar Seokjin. Mereka berdua menaiki bus tadi, pasalnya mobil ayah Seokjin tidak bisa Seokjin gunakan lagi lantaran ayah Seokjin harus kembali lagi bekerja.

Sekarang, Sojung berada di atas punggung Seokjin. Dia merengek minta di gendong dengan alasan kakinya cukup lelah akibat berlari saat jam olahraga tadi.

"Kau jangan sampai ketiduran, ya. Kalau sampai ketiduran aku tambah repot lagi," kata Seokjin.

"Kau ini kenapa cerewet sekali, sih?" protes Sojung.

"Ya habisnya kau selalu merepotkanku, sih. Seperti benalu saja."

"Diam atau kucekik lehermu dengan lenganku? Aku lelah, Seokjin, malas berdebat."

"Siapa yang mengajakmu berdebat?" tanya Seokjin.

Mengabaikan pertanyaan Seokjin, Sojung lebih memilih meletakkan kepalanya di bahu Seokjin. Hal itu tentu membuat jantung Seokjin, berdebar kencang.

"Suara apa itu?" tanya Sojung.

"A-apa? Suara yang mana?" tanya Seokjin kembali dengan gugup.

"Ah, sudah, lupakan."

Padahal tadi Sojung yang penasaran, tapi sekarang dia malah menyuruh Seokjin untuk melupakan hal itu.

▫▫▫

Seokjin kembali mendapat tinjuan usai mengantar Sojung ke rumah. "Kau membawa putriku kemana semalam, hah?! Kau macam-macam dengannya? Kau apakan dia?!"

Saat ayah Sojung akan kembali menampar Seokjin, Sojung justru menghalanginya, dan malah ia yang terkena tamparan itu.

Ayah Sojung terkejut karena dia baru saja menampar putrinya sendiri. "Sojung, maafkan ayah."

"Berapa umurku sekarang, ayah?" tanya Sojung dengan mata berkaca-kaca, mati-matian dia menahan air matanya. "Jawab pertanyaanku!"

"Tujuh belas tahun," jawab ayah Sojung.

"Apa pantas anak berumur tujuh belas tahun di perlakukan seperti aku?" tanya Sojung lagi. "Aku tahu niatmu baik, kau ingin menjagaku. Iya, 'kan? Tapi tidak seperti ini caranya, kau terlalu berlebihan, ayah!"

"Bukan hanya itu Sojung, ayah takut kalau―"

"Kalau ayah kehilangan anak perempuan lagi? Takut kalau nasib Sora terulang kembali padaku?" potong Sojung.

"Tahu darimana kau tentang Sora?" tanya ayah Sojung terkejut.

"Pertanyaanmu sama sekali tak butuh jawaban. Mau aku tahu tentang Sora darimanapun, kau tidak perlu tahu. Kau saja tidak mau memberi tahuku tentang Sora."

"Kalau memang benar kau takut akan hal itu, maka berhentilah melarangku, berhenti membatasi ini dan itu padaku. Karena kalau kau masih seperti itu, aku akan benar-benar pergi dari rumah ini, dan tidak akan pernah kembali lagi!" lanjut Sojung.

"Sojung, jangan pergi, nak. Ibu mohon..." lirih ibu Sojung menangis.

"Maafkan ayah, Sojung. Ayah janji, mulai sekarang, ayah tidak akan membatasi ini dan itu padamu lagi. Ayah janji..." ucap ayah Sojung sembari menitikkan air matanya. Segera, dia memeluk Sojung dan Sojung membalas pelukannya. "Maafkan Sojung juga, ayah."

Sojung melepaskan pelukannya. Dia beralih pada Seokjin, dia meraih tangan Seokjin kemudian membawa lelaki itu ke hadapan sang ayah.

"Bersedia untuk meminta maaf atas apa yang kau lakukan padanya?" tanya Sojung pada ayahnya. "Semalam, dia yang menjaga putrimu. Dia sama sekali tidak melakukan hal apapun padaku."

Ayah Sojung menatap Seokjin dengan rasa bersalah. Tanpa menunggu lama, dia langsung memeluk Seokjin. "Maafkan aku, tuan. Aku sudah banyak melukaimu."

"Tidak apa, paman. Aku mengerti bagaimana dirimu," kata Seokjin.

"Panggil saja aku ayah. Sama seperti dulu kau memanggil ibu Sojung dengan sebutan ibu," kata ayah Sojung.

Mendengar itu, Sojung merekahkan senyumannya. Ayahnya memang benar-benar orang baik. Buktinya, dia merubah sikapnya dengan cepat. Sojung senang akan itu.

"Ayo, Seokjin, masuk ke dalam. Biar ibu obati lukamu itu," titah ibu Sojung.

Seokjin mengangguk. Setelahnya, mereka semua masuk ke dalam rumah Sojung.

A/n-; Satu minggu pas! Wkwkwk, gak telat dong ya, aowokwok.

Annoying; Sowjin ミ°endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang