Chapter 7

2.7K 280 21
                                    

FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. And please do not copy my story without my permission. 

Genre: Historical Romance

Backsound: Playlist by Me! but actually by Taylor Swift

Just read and enjoy~

CHAPTER SEVEN

"Aku hampir saja mengumpat saat penjual bunga itu memberitahu harga bunga yang ia jual. Aku tahu ini akhir musim gugur, tetapi bukan berarti ia menaikkan harga semahal itu. Padahal, aku ingin sekali membuat mahkota bunga untuk Julie," gerutu Hope yang tengah menyisir rambut hitamnya yang mulai bertingkah. Ikal-ikal rambutnya sering bermunculan jika sudah mendekati musim dingin dan hal itu sering membuatnya jengkel. Terkadang ia begitu iri pada Bridget karena memiliki rambut pirang cantik yang selalu sempurna di setiap musim. Hope melirik kakaknya yang sedang duduk di pinggir kasur dengan raut wajah murung.

Dari semua kakak yang ia punya, Bridget memang tidak begitu dekat dengannya. Sebenarnya, Bridget dekat dengan semua anggota keluarga. Tidak ada yang wanita itu pilih sebagai kakak atau adik kesukaan. Siapapun yang telah mengenal Bridget pasti tidak akan tega melihat wanita tersebut dalam keadaan sedih atau frustrasi. Warga Cheshire tahu betapa baiknya Bridget saat berinteraksi dengan mereka. Yah, setidaknya sebelum Ibu dipanggil kembali ke rumah Bapa. Bridget lebih sering membatasi diri dengan lingkungan luar dan lebih mengutamakan keluarga.

Perjuangan Mildred untuk membantu Bridget terangkat dari masa berkabung patut diberi penghargaan. Buruknya adalah Bridget memiliki kebiasaan baru yaitu sering melukai tangannya sendiri. Sebelum Miss Gillbride mengajarkannya untuk menghilangkan kebiasaan tersebut, Bridget selalu dibebani oleh perasaan khawatir berlebihan terhadap diri dan keluarganya. Ibu didiagnosis penyakit tuberculosis yang menyebabkan wanita tua tersebut invalid, tidak dapat melakukan apa-apa karena lemah tubuh. Setelah Ibu dinyatakan terjangkit penyakit tersebut, Bridget tidak sama sekali berniat keluar dari Moore House. Wanita itu tahu mengapa Ibunya bisa mendapatkan penyakit tersebut. Oh, ya ia tahu benar.

"Itu karena Ibu terlalu baik pada semua orang," gumam Bridget terpaku pada satu titik dengan tatapan kosong di satu malam saat keluarganya, kecuali sang Ibu, sedang membahas rencana untuk membawa semua putri Moore ke London.

"Itu tidak masuk akal," bantah Ayahnya setenang danau Delamere. Kepala Bridget yang bersandar pada sandaran sofa terangkat, mengalihkan tatapan mata hijaunya pada sang Ayah. Hati Lord Moore—sebelum Justin—seperti dihancurkan begitu kedua mata hijau yang sama seperti istrinya memerah karena lamanya gadis itu menangis.

"Jika Ibu tidak sering mengunjungi rumah mereka, Ibu tidak akan terjangkit penyakit ini. Andai aku tahu kebaikan akan membawa Ibu pada akhir yang buruk, aku tidak akan membiarkannya keluar dari Moore House," ujar Bridget dengan suara serak sarat akan penyesalan dan amarah.

Keadaan ruang baca saat itu sangatlah muram dan tegang. Justin tidak yakin harus meladeni Bridget bagaimana karena ia sendiri pun dilanda perasaan yang sama. Suara Ayah mereka kembali mendapatkan perhatian. "Aku hanya manusia biasa. Tidak banyak yang dapat kulakukan selain berdoa kepada Tuhan agar istriku tetap ada di sisiku. Agar Ibu kalian dapat Justin menjadi penerusku, Mildred menikah di waktu yang tepat, Bridget menjadi pelukis pesohor, dan melihat bagaimana Hope berhasil menjadi wanita terhormat,

"Dan Tuhan tahu betapa aku sangat menyayangi kalian. Maka dari itu, aku akan mengirim kalian pada Lady Ella di Birmingham sampai Ibu kembali sehat seperti semula," jelas Lord Moore yang segera mengangkat tangan kanannya agar tak dibantah. "Dan aku tidak menerima penolakan dari siapapun. Justin akan tetap berada di Cheshire untuk membantuku. Kalian bertiga bersiaplah karena besok siang kalian akan berangkat,"

Lucky BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang