Chapter 6

2.8K 323 32
                                    

FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. And please do not copy my story without my permission. 

Genre: Historical Romance

Backsound: Zedd ft Foxes - Clarity

Just read and enjoy~


CHAPTER SIX

            Ruang melukis merupakan tempat kedua setelah perpustakaan yang paling sering Bridget kunjungi. Sewaktu ia masih kecil, Ibu sering mengajarkannya bagaimana cara melukis pemandangan Cheshire atau perasaan yang tengah melanda mereka saat itu. Hope, di satu sisi, tidak begitu senang melukis. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya dengan Mildred menjahit bersama Lady Ella, bibi mereka dari pihak sang Ibu, di taman. Maka dari itu, Bridget merasa dirinya memiliki hubungan paling dekat dengan Ibu. Dan melepaskan sosok malaikat dalam hidupnya terasa begitu sulit. Hampir semua lukisan yang ia lukis tidak dapat dimengerti oleh siapapun karena tidak menunjukkan objek sama sekali. Setidaknya, itu hanya berlangsung selama setahun.

            Atas bantuan Mildred saja, ia mampu melewati masa berkabung yang terasa seperti neraka. Ia sudah tidak lagi melukis di kanvas besar seperti biasanya. Ia mendapati menggambar menggunakan pensil di secarik kertas besar cukup menarik. Garis demi garis akan tergambar mengikuti gerakan tangannya yang lembut. Sedikit yang ia tahu, ia telah menggambar tubuh sosok yang paling ia kagumi. Ibunya. Lekukan yang digambarnya cukup runcing dan langsing sehingga kelihatan tak begitu realistis. Hanya sebuah lekukan senyum tipis dan hidung mancung sederhana yang menghias wajah gambar tersebut.

            Pensilnya hari itu hanya mengikuti kemana tangan yang memegangnya membawa. Terlintas di pikiran Bridget bagaimana sang Ibu bertemu Ayahnya saat mereka dijodohkan. Ayah sering menjelaskan Ibu seperti malaikat yang pernah ditemuinya. Ibu berpenampilan sangat mewah hari itu karena syal yang digunakannya terbuat dari bulu musang. Saat mendengar bagian tersebut, Bridget tidak begitu menyukai ide hewan menjadi bagian dari pakaian Ibunya. Ayah kemudian menjelaskan rok yang dikenakan Ibu sangat mengembang hingga saat itu ia berpikir sepuluh anak kecil dapat bersembunyi di sana. Bridget tertawa mengingat bagaimana Ayah harus berdiri untuk menunjukkan seberapa besarnya rok itu.

            Saat ia tersadar akan lamunannya saat itu, ia mendapatkan sebuah gambar yang ia rasa bukan berasal darinya. Tidak mungkin ia dapat menggambar pakaian yang ada di pikirannya tadi. Wanita di gambar tersebut sudah mengenakan gaun yang atasannya dilapisi jaket dan dadanya sebagian besar ditutupi oleh syal berbulu. Rok bawahnya dibuat mengembang seperti yang ia imajinasikan. Meski kebingungan, Bridget merasa janggal jika ia tidak menulis sesuatu untuk menjelaskan pakaian yang dikenakan 'Ibu'. Sejak kecil, ia memang suka akan keindahan maka dari itu gerakan yang dilakukannya sangat lembut agar tidak merusakan keindahan jenis apapun yang ditunjukkan padanya. Matanya kembali menyusuri gambar di kertas yang mulai usang di tangan. Kira-kira sudah 5 tahun lamanya sejak gambar yang dipegangnya ini ia simpan.

            Ketukan di pintu ruang lukis mengalihkan Bridget. Pintu yang berjarak cukup jauh darinya terbuka, mempersilakan Lady Moore masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum sumringah saat melihat Bridget dalam keadaan mematung di belakang meja kayu besar dekat jendela. "Selamat sore, Lady Bridget, apa kau punya waktu sebentar?"

            "Aku baru saja selesai membereskan semua gambar lamaku. Ada yang bisa kubantu, My Lady?" Tanya Bridget keluar dari balik meja kayu berpoles tersebut menuju Lady Moore yang sudah berhenti melangkah di tengah-tengah ruangan.

Lucky BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang