06. Waktu Itu Terlalu Semu

3K 369 76
                                    

Chuuya meringis begitu tersadar dari pingsan. Dirematnya bahu yang masih mengucurkan darah ketika tubuhnya didudukkan pada sebuah sofa tunggal oleh pria jangkung itu.

Di balik kabut anemia, ia melihat sosok Dazai tengah berlutut di depannya. Merobek sweeter kepunyaan Tachihara, lalu terkejut ketika bertemu luka segar yang menampilkan daging koyak.

"Akh-ugh!" Chuuya memekik saat sebuah kain ditekan ke lukanya, berusaha menghalau aliran darah. Sekuat tenaga ia kumpul kesadaran lalu menatap Dazai, kemudian menepis tangannya.

Dazai terkejut, mundur menjauh. Kain jatuh ke pangkuan si mungil dan darah kembali mengalir.

"Jangan sentuh. Aku bisa sendiri." Tegasnya.

Tidak. Dia tidak bisa, bahkan mengangkat tangan saja membutuhkan hampir seluruh tenaga. Dazai muak. Menarik paksa tangan Chuuya dan menekan kembali luka itu.

Chuuya kembali memekik, "sial! hentikan ugh!!"

"Jangan bertingkah. Diam dan tenanglah!" ucap Dazai rendah. Serius dalam perintahnya.

Untuk kali ini Chuuya menurut. Bukan karena ia pasrah Dazai merawat luka itu, atau pasrah karena pakaiannya sudah robek hingga menampilkan dada, melainkan karena dia benar-benar hanya bermodal tekad tanpa tenaga untuk melawan.

Luka selesai dibalut dan ditutup kasa tebal. Beruntung pisau tidak menembus tubuhnya. Dazai menatap badan si mungil yang tidak tertutup pakaian robek. Ada beberapa lebam dan luka gores panjang seperti dibenturkan pada besi tajam. Ia menelan ludah.

"Seharusnya kau tinggalkan aku," akhirnya Chuuya mengatakan penyesalannya ketika fokus Dazai beralih pada kotak P3K.

"Kalau kutinggal, kau akan mati, dan aku bisa dituntut," jawab Dazai sekenanya.

"Kalau aku mati, aku akan berterima kasih."

Dazai menunggu kesempatan ini sedari pertama ia melihat luka-luka Chuuya, terutama di bahu dan kepalanya. Ia melangkah perlahan, mengambil bangku lain lalu duduk di depan orang sakit itu. "Hei, apa yang terjadi?"

Dazai mengerti adalah sebuah kesalahan menanyakan keadaan disaat dia yakin tidak memiliki perasaan apa-apa lagi pada si senja. Namun, sesuatu di dada bergejolak hingga mulutnya memuntahkan kalimat itu.

"Yang terjadi?" safir Chuuya tertutup awan mendung, menantang manik Dazai. "Yang terjadi, aku benci diriku karena masih mengharapkanmu kembali setelah kau mencampakkanku," sarkasnya.

Dazai tertegun, membuang muka, entah mengapa tidak sanggup melihat wajah meringis itu. "Kau yang paling tahu fakta kalau itu tidak akan pernah terjadi."

Chuuya tahu. Sangat tahu. "Lalu mengapa kau bawa aku kesini?"

"Aku sudah bilang, itu karena aku tidak ingin kau mati," decih Dazai

"Untuk apa? Kau tahu? Aku berada pada titik dimana kematian adalah jalan terbaik yang akan menyambutku dengan pelukan hangat." ucap Chuuya asal, namun nyata. "Aku baik baik saja, sungguh. Aku baik baik saja, sampai kau datang dan bertingkah seakan tidak pernah menghancurkanku."

Entah kenapa Dazai semakin membenci Chuuya karena memasang wajah sendu. Ia tidak ingin melihatnya. Ia ingin mengusirnya. Ingin mengahapusnya. Detik ketika kilau berbinar di sepasang samudra, Dazai teringat sebuah senyum di masa lalu. Kemudian menyadari yang ingin ia hapus bukanlah Chuuya, melainkan sedih yang merantainya.

Dazai mulai ragu pada keputusan untuk membenci.

"Aku mau pergi," akhirnya Chuuya mencoba bangkit dari sofa. Diapitnya sweeter robek itu dengan jemari kurus untuk menutup dada dan bahu.

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang