10. Musim Dimana Aku Terlelap, Yang Kulihat Hanya Bayangmu

2.5K 372 77
                                    

Tidak bisa dibilang Chuuya bangun dalam keadaan segar bugar. Jelas sekali. mata yang merah menyatakan seakan mimpi tidak pernah menerimanya. Kalaulah saja punya uang yang cukup, pasti dia akan menambah lagi dan lagi sewa kamar tanpa sangkut paut Dazai yang diutangi.

"Bagaimana rasanya?"

Chuuya ingin menjawab dengan, 'tidak beda,' tapi kata yang lepas dari mulutnya "lebih baik," agar bisa pergi dari sisi Dazai.

"Bohong?" Dazai menerka, "kau pasti merasa lebih lelah karena tubuhmu sibuk meregenerasi jaringan sedangkan makanmu hanya kemarin sore."

Chuuya menghela napas, "kenapa kau masuk SMA jelek itu saat bisa langsung ke sekolah kedokteran."

"Sebenarnya aku sudah diterima beasiswa perguruan tinggi kedokteran, jadi tinggal SMA biasa untuk sertifikat."

"Oh, tentu pintar." Chuuya yang dulu mungkin akan tersenyum dan berkata 'aku tidak akan kalah' atau meledek 'mereka pasti salah rekap.'

"Odasaku tadi menelepon," Dazai mengabaikan ingatannya.

"Odasaku?"

"Oda Sakunosuke-sensei.." Chuuya ber-oh sederhana. "Dia menanyakan keberadaanmu pada seluruh anak kelas, bahkan dia bilang si Tachihara, kalau aku tidak salah ingat, yang sering main denganmu tidak tahu. Kau membuat mereka khawatir."

"Khawatir?" Chuuya menaikkan alis. Dia terbilang cukup sering tidak masuk sekolah dan membolos tapi tidak pernah Oda-sensei mencarinya. Tachihara juga sama. Dia memang sering membantu, namun tidak pernah berniat masuk dalam masalah Chuuya. Dia hanya membiarkan Chuuya dibawa arus kehidupan dan tetap berada di sana sebagai penyelamat. "Lalu apa yang kau katakan?"

"Aku bilang kau sakit dan sedang kurawat di rumahku."

"Kenapa gamblang sekali?????"

"Aku sudah berbohong dengan mengatakan 'rumahku'. Jangan protes." Dazai membela diri.

"Seharusnya kau bilang aku demam dan sedang istirahat dirumah-KU. Sendiri!"

Dazai memutar bola matanya ke arah tembok kosong, "mereka bisa saja datang ke rumahmu lalu bertemu pamanmu, dan membuat keadaan semakin buruk."

Chuuya memicingkan mata. Curiga namun takluk karena fakta. Lebih dari siapapun di muka bumi selain Dazai, Chuuya sangat tidak ingin bertemu dan berurusan dengan Pria Tua itu.

Ia melunakkan kontraksi otot dan membuang tubuh ke bantal. "Keadaan memang sudah semakin buruk sejak kita bertemu lagi."

"Lalu kau menyalahkanku?"

"Tentu tidak, kau bodoh?" Chuuya tenggelam ke dalam selimutnya, "Seharusnya aku mengakhiri ini dari dulu. Sekarang sudah sangat terlambat, tidak bisa keluar dan tidak bisa lari."

"Kau bisa lari dari pamanmu." Dazai duduk di sebelah Chuuya, menelusuri gestur mungil dalam selimut dengan pandangannya. "Aku bisa pinjamkan kau uang untuk sewa sebuah apartemen murah. Kau bisa mulai bekerja untuk hidupmu, aku tidak akan beri batas waktu pelunasannya. Kau bisa menjalani hidup baru dengan tenang."

Chuuya tidak mengubah air muka di tiap saran Dazai. Matanya lurus menatap si hazel, "Aku tidak bisa lari darimu."

Dazai tahu. Dia sangat tahu apa yang ia katakan lebih dari konyol dan bertentangan dengan seluruh pemikiran logisnya. Tapi ia ingin membantu Chuuya. Ia berpikir kalau membantu, sedikit saja, ia akan mulai menikmati hidupnya yang penuh sandiwara.

"Kau tidak perlu," ujarnya. "Yang perlu kau lakukan hanya melupakan masa lalu dan anggap aku hanya sebagai teman sekelasmu."

"Bodoh sekali. Kau pikir aku bisa?"

Tentu saja tidak. Dazai pun tidak bisa. Walaupun ia bilang melupakan masa lalu, satu-satunya alasan dia menerima Chuuya di sini dan menawarkan begitu banyak adalah karena Chuuya sangat berharga bagi Dirinya di masa lalu. Seorang yang dahulu ingin Dazai hadiahi seluruh isi dunia. Sekarang, memang segala romansa telah luntur, tapi hati kecil Dazai masih memendarkan keinginan itu.

Chuuya terlalu mencintainya. Dahulu di panti asuhan, ia selalu memberi Dazai kecupan selamat tidur dan selamat pagi. Memberinya sebuah senyum setiap hari. Membuat Dazai berdebar di hari-hari ulang tahun, menyayangi Dazai lebih dari dirinya. Ketika mereka berpisah, sebuah rindu membakar cinta itu tiap waktu. Tiap detik baranya bertambah, tiap musim apinya menyala, lalu Dazai memadamkannya hanya dengan satu detik sebuah sikap acuh.

Perasaan hitam arang Chuuya hanya menyisakan asap. Sebuah kenangan-kenangan yang habis dibakar. Dazai berusaha malahirkan api dari asap, sementara Chuuya tidak ingin siapapun menyentuh bara hitam itu, baik Dazai maupun dirinya sendiri.

"Aku masih tidak mengerti kenapa aku tidak mati? Luka itu dekat dengan jantung, bukan?"

"Chuuya, itu terlalu tragis. Kalau kau ingin mati, sebaiknya dengan orang yang kau sayangi."

Irisnya nanar, tapi Chuuya tersenyum. Senyum pahit yang tidak membuat Dazai menyesal telah mengatakan hal yang selalu ia genggam sebagai prinsip hidup.

"Kau mau mati denganku, Dazai?"

Dazai membelalak. Melihat senyum Chuuya yang sekarang malah menusuk-nusuk hatinya. Pernyataannya salah hingga Chuuya mengajaknya ke dalam sebuah pertemuan romantis dengan Sang Maut. Dimana Maut menjadi saksi atas cinta yang tidak bisa dipisahkannya dengan kematian.

"Aku bercanda," senyum Chuuya berubah menjadi ketulusan yang pahit, "kau punya hidup yang terlalu bagus untuk dibuang."

To Be Continued

12 Juli 2019
SeaglassNst

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang