22. Mimpi Tabu Memekarkan Candu

1.7K 209 84
                                    

Dazai akan dengan senang menjelaskan bahwa mimpinya semalam begitu indah dimana ia berbaring di hamparan debu-debu bintang bersinar yang memeluknya dengan hangat. Langit begitu dekat dan dia bisa melihat lembaran biru paling sempurna seakan sebuah tangan lembut tengah memberinya sentuhan penuh keajaiban. Lalu ketika bangun dan membuka mata, Dazai benar-benar melihat sosok malaikat tengah mendengkur di pelukannya. 

Senyum tipis, sebuah kecupan mendarat di kening dan Dazai tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengelus helai-helai jingga yang lembut itu. "Selamat pagi," bisiknya menenangkan tatkala garis alis si jingga berkerut. "Tidurlah sebentar lagi. Ini minggu," sambungnya. 

"Ini minggu?" Malaikat itu berkata sayu sebab kesadarannya masih berada di dalam mimpi penuh bunga-bunga mawar putih yang bermekaran. "Kau harus pulang," ia merapatkan diri pada dada Dazai. "Aku seharusnya bilang begitu, tapi aku sangat ingin kau berada di sini sebentar lagi."

Meskipun hidup begitu dingin, tapi mereka sepakat untuk saling menghangatkan. Meskipun di luar sana kenyataan berkeliaran dalam wujud duri-duri tajam, mereka telah sepakat membagi sedikit waktu untuk membangun kembali sebuah perasaan kecil yang sempat hancur dan seharusnya pun tetap hancur. 

Karena mereka begitu lemah tanpa satu sama lain. Karena rasa sakit akibat kesendirian telah dirasakan dan sangat menyiksa, maka Dazai membalas perhatian kecil yang manis dengan satu lagi kecupan. "Aku akan disini selama yang kau mau, Chuuya."

Cukup lama waktu untuk Dazai mengisi detik-detik kesepian hanya dengan menatap bulu mata lentik yang menutup bongkahan kristal es sebiru samudra, sampai Chuuya kembali berbicara, "Kau harus pulang, Dazai."

Meskipun tubuhnya semakin mengerat, Chuuya tetap menunjukkan bahwa dia ingin ditolak. Sayangnya Dazai tidak mau. Sudah cukup sekali ia menolak Chuuya, tidak lagi. 

"Aku tidak mau pulang..." Dazai menghela napas panjang, "Aku akan disidang jika pulang."

"Kau melarikan diri dari rumah atau semacamnya?" 

"Begitulah.."

Suara gedoran pintu seketika memecahkan nuansa sunyi. Chuuya hampir bangkit, namun Dazai menahan bahunya agar tetap berbaring. Gedoran semakin lama semakin kuat seakan sang pelaku ingin menghancurkan pintu rumah Chuuya. 

"Kau tahu?" Ia bertanya pada Dazai yang memasang tatapan terusik. 

"Jemputanku."

Hati Chuuya teriris. Ia memang mengatakan agar Dazai segera pulang, namun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya ingin Dazai berada disini, sedikit saja lebih lama, untuk merengkuhnya. Sedikit saja—

Chuuya menegarkan hati dan menolak rangkulan lengan si brunette. "Kau harus pulang." Kini kalimatnya tegas. "Ini bukan rumahmu."

Hazel Dazai kecewa karena baginya selama Chuuya masih ada maka ia adalah rumah, namun dengan seluruh paksaan seseorang di luar sana Dazai jadi enggan berkomentar. "Satu ciuman, aku akan pulang."

Apa lagi pria ini?

Chuuya sudah berkali-kali mengatakan bahwa Dazai bukanlah orang yang membutuhkan dirinya. Dirinya bukanlah orang yang layak hadir mengisi kebahagiaan dan masa depan Dazai yang bergelimang cahaya. Chuuya adalah noda. 

Tapi melihat tatapan lembut yang menyerbu dengan semua afeksi, Chuuya sadar bahwa dirinya masih dan akan selalu mencintai pria ini. Karena itu, dia mendekat dan memberikan Dazai permintaannya. 

Sebuah ciuman penuh rasa dan Dazai membuatnya bergairah. Chuuya tidak mencegah lenguh tipis, ia juga tidak menolak belaian di punggung, ia menyukai sentuhan Dazai secara tulus tanpa sadar bahwa sekarang dirinya resmi menjadi selingkuhan. 

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang