09. Terbenamnya Sang Fajar

2.5K 365 79
                                    

Malam menyingkap tabirnya. Purnama sebagai lampu sorot. Bintang-bintang hanya sisa cahaya yang tidak diperlukan di sebuah gelap sendu.

Dazai membuang batang rokok di balkon tanpa habis dibakar. Ia masuk ke kamar dan menutup jendela beserta gorden lembayungnya. Ia dapat melihat setitik darah di pakaian Chuuya yang tepat melahap habis bubur.

"Kemari, aku ganti perbanmu."

Dazai membantu membuka kaosnya karena luka di bahu Chuuya masih parah. Kali ini dia tidak mencegah Dazai menyentuh, tidak mencegah Dazai yang begitu dekat sampai ia aromanya dapat dihirup.

Mata Chuuya jatuh pada sepasang bibir yang terkatup. Cukup sering ia membayangkan bibir itu bertaut dengan miliknya. Saling memagut dan menghantarkan panas yang bergairah. Atau di waktu lain kepalanya menggambarkan malam dimana salju turun. Berada dalam selimut bersama orang itu, lalu berciuman sebagai ucapan selamat tidur sebelum saling merengkuh.

Katakanlah naif, tapi Chuuya masih mengingat bagaimana Dazai merebut ciuman pertamanya ketika di panti asuhan. Di hari terik musim panas saat mereka berbagi permen, Chuuya tidak bisa menjauhkan indra dari rasa anggur di bibir Dazai.

Tubuhnya memanas tiap waktu jemari itu menyentuh. Chuuya tahu pipinya merona, tapi tidak ada yang melihat, tidak ada yang peduli alasannya. "Aku-"

"Diam saja."

Chuuya terdiam sesuai perintah ketika niatnya menyanggah dipotong oleh Dazai. Pria itu menumpu lengan Chuuya di bahu untuk mengobati luka. Jika bukan atas nama kewarasan, Dazai bisa saja mengecup bibir dan leher si sinoper dengan leluasa. Tentu saja hanya angan-angan bagi dunia untuk melihat hal itu. Dazai tidak tertarik pada Chuuya dengan cara seperti itu walau melihat tubuh -molek penuh luka yang tidak tertutup sehelai benangpun- benar-benar membuat darah menggelitik kulitnya dari dalam.

"Jaringan ototnya sudah menutup, tinggal bagian luar saja."

Chuuya meringis ketika obat merah diteteskan ke dagingnya. Dazai segera menutup dengan kapas dan kasa, lalu membalut dengan perban.

"Kau pulih dengan cepat. Biasanya luka seperti itu tidak sembuh secepat ini."

Chuuya tahu alasan dibalik kehebatan itu adalah karena Dazai merawat lukanya dengan sangat baik. Di sela-sela tidur, terkadang Chuuya terjaga dan mendapati Dazai tengah melakukan sesuatu dengan lukanya. Mengompres, meneteskan obat, mengoles salep, hal-hal melelahkan lainnya.

"Kau akan jadi dokter yang hebat."

Kalimat itu menjeda Dazai membereskan perban bekas. Ia tidak pernah suka jika ada seseorang yang memuji dengan harapan dokter hebat. Tapi entah kenapa yang satu ini membuat dada berdesir hangat. Ia hampir merona, namun kontrol jantungnya begitu baik sampai darah tidak mengalir berlebihan ke pipi.

"Aku tidak ingin melihat luka-luka seperti itu." Chuuya paham Dazai merujuk pada luka selain tusukan yang ada di tubuhnya. "Aku tidak suka cerita keluarga yang sengsara."

Chuuya mengernyit tidak senang.

"Jangan tersinggung."

Chuuya tertawa mendengus, "kau juga tidak terlalu beruntung."

Pemuda itu membalas dengan mengangkat bahu. "Siapa tahu." Ia merogoh laci nakas untuk beberapa papan obat, "minum seperti biasa."

Tidak butuh waktu lama untuk Chuuya melakukan perintah pemuda itu lagi. Kemarin ia menolak mentah-mentah dengan alasan, "ini sudah biasa, aku akan sembuh setelah tidur cukup," tapi Dazai memaksa dengan mata mengancam yang tidak ingin lagi Chuuya lihat.

"Aku bangunkan besok," ucap si jangkung, berpindah ke sofa dengan buku bacaannya.

Chuuya menaikkan satu alisnya sebelum masuk ke dalam selimut, "kau harus."

Dazai tahu dirinya berharga bagi Chuuya. Sosok hancur itu menjalani hidup dengan menggantungkan harapan pada janji masa kecil yang tidak bisa dilupakan. Kemudian Dazai menjatuhkan harapannya sampai ke dasar bumi, terbakar dan lenyap, lalu memaksa untuk membentuk kembali sebuah hasrat dengan pijar tanpa bentuk.

Sesalnya selalu bertambah di tiap napas Chuuya, di tiap helai jingga itu bergesakan dengan wajah tidurnya. Tapi apakah penyesalan itu didasari cinta?

"Tidak mungkin," Dazai menjawab dalam kepala.

"Semua hanya karena dia adalah orang yang membuatku hidup di masa itu. Orang yang sudah memberiku semua hal yang dibutuhkan untuk menjadi manusia. Penyelama. Seorang suci yang diberkati kehangatan mentari dan aroma musim semi. Walaupun sekarang yang terlihat hanya puing-puing pertempuran. Hancur, berdebu, tak ingin diingat, namun dia tetap indah."

Dazai menghela napas, tidak mencegah kakinya kembali pada Chuuya hanya untuk sebuah keinginan membelai pipi pucat merona.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, malaikatku?"

Semua pikiran rumit Dazai berujung pada gejolak untuk merekatkan kembali bagian-bagian jiwa Chuuya. Dia sangat rapuh. Jika Dazai terlalu menekan, Chuuya akan hancur. Tapi jika Dazai melepas, Chuuya akan jatuh dan pecah.

Dazai benar-benar mengabaikan kenyataan tentang hidupnya sendiri karena sosok si mungil. Apa yang harus ia lakukan untuk Chuuya tanpa mengubah jalan hidup yang telah ditentukan- tanpa mencari masalah dengan para aktor yang mengusungnya menjadi manusia sempurna. Dazai benci permainan munafik itu, tapi dia tidak bisa keluar dan dipaksa terus berlakon di dalamnya.

To Be Continued

7 Juli 2019
SeaglassNst

.
.
.

NOTE : Untuk chapter depan sepertinya agak telat, tapi akan saya usahakan sesuai jadwal XD
Terimakasih masih mengikuti cerita ini..

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang