07. Di Penghujung Senja, Izinkan Gelap Mendekapnya

2.9K 385 36
                                    

Sebelum makanan datang, Chuuya sudah menutup mata dan terlelap. Dazai membiarkannya memakai ranjang sepanjang malam sementara ia tidur di sofa. Sesekali terbangun dan melirik ke arah Chuuya saat tempat tidur berderak dan napas pemuda itu terengah.

Hari ini, sejujurnya, ia tidak ingin masuk sekolah dan lebih memilih berjaga di kamar tempat Chuuya tengah beristirahat. Entah mengapa kehendaknya memilih demikian walau segala logika mengatakan bahwa hal itu tidak ada untungnya. Sekarang sudah pukul sembilan, pelajaran pertama hampir berakhir dan dia tetap terjebak di sini dengan Nakahara Chuuya yang masih terlelap. Ya ampun! Seharusnya dia tinggal saja orang itu! Kenapa pula repot-repot menunggunya sadar sampai melewatkan sekolah? Bodoh!

"Ayah..."

Gundah Dazai terpanggil oleh igau yang begitu lembut. Kakinya melangkah, mendapati Chuuya yang masih tidur dengan mata yang basah. Dazai tahu pemuda itu sedang menangis di tengah mimpi, tapi Dazai tidak melakukan apa-apa. Memang dia bisa melakukan apa?

Jika Chuuya tidak terbangun sampai pukul sebelas, Dazai berencana memperpanjang penyewaan kamar. Namun sekali lagi dia berpikir, "buat apa aku buang-buang uang untuk dia?" dan tertahan begitu lama. Sampai akhirnya dia pergi ke resepsionis dan membayar untuk satu malam lagi.

Chuuya terbangun ketika senja hampir tampak. Dia langsung terlonjak dari kasur dan bangkit berdiri, lalu terjatuh berlutut di lantai.

"Apa yang kau lakukan?" Dazai bertanya dengan heran. "Kalau kau masih sakit, seharusnya tahu diri dan jangan bangkit tiba-tiba." Ia tidak berusaha membantu memapah Chuuya kembali ke ranjang karena tahu pasti akan didorong jauh-jauh.

"Kenapa kau masih disini?" sorot mata Chuuya menyiratkan sebuah cemas. "Kenapa aku masih disini?"

"Aku memperpanjang sewa sampai satu malam lagi. Kau masih sakit jadi, yaa... Begitulah."

Chuuya menatap tak percaya sebelum ia menekan perutnya. Ususnya terasa melilit, menghisap dengan tamak karena lambung yang kosong.

"Kau lapar?"

Chuuya merasa ada hawa panas menjalar di tengkuk ketika tertangkap basah -memang sedang lapar- oleh Dazai Osamu. Ia menggeleng cepat.

"Aku akan pesan makanan. Kau belum makan dari semalam. Atau lebih lama dari itu?"

"Kemarin sore."

"Bagus. Dua puluh empat jam tanpa makan bagi orang yang demam dan anemia. Kalau kau sebegitunya ingin mati, jendela terbuka lebar dan kita berada di lantai sepuluh." Dazai memberi sindiran yang benar-benar penuh kesal.

‌"Aku tidak pernah minta kau membantuku," cicit Chuuya. Dia tidak tahu apa suaranya yang pelan disebabkan karena tidak ada tenaga atau karena dia malu mendapat bantuan dari seorang yang sudah menolaknya.

"Itu lagi.." Dazai mendesah. Tidak seperti kemarin malam dia akan terhentak dan diam karena Chuuya memarahinya dengan penuh emosi. Kali ini dia berjanji pada diri sendiri akan mengabaikan semua perkataan 'tidak butuh' dan 'tidak minta' dari Chuuya. Bahkan kalau pria itu melempar tatapan sedih yang menyayat-nyayat hati, Dazai sudah meyakinkan dirinya untuk tetap abai.

Meski begitu, ada satu kalimat Chuuya yang tidak bisa hilang dari kepalanya. Dazai tidak bisa mengulangnya dengan baik, lisan maupun pikiran. Namun, memorinya mengingat dengan jelas bagaimana sosok rapuh itu mengatakan rasa cinta yang tidak bisa ia hapus walau seluruh semesta mengikisnya.

Dazai tidak ingin membicarakan hal itu. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan jika Chuuya melambungkan topik itu lagi. Jangankan menjawab Chuuya, Dazai bahkan tidak bisa menjawab dirinya sendiri jika ada satu kata muncul dari hal itu.

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang