20. Janji Yang Merekah Bagai Kelopak Bunga Camelia

1.8K 221 81
                                    


Berada di mansion mewah bukan hal yang Dazai benci jika saja ia masih mencintai wanita yang kini duduk di sebelahnya dengan sepiring cheesecake. Sekarang pikiran Dazai jauh berkelana ke hari esok dimana ia akan naik pesawat dan berbenah untuk janjinya dengan si surai jahe. Terkurung hampir seminggu menyiksa batin, satu-satunya hal yang ia syukuri adalah ketika Chuuya mengantarnya ke bandara kemarin dan mereka akhirnya bertukar nomor handphone.

Tiap malam Dazai rutin memberi pesan singkat, ucapan salam ringan karena ia begitu rindu. Ingin sekali ia tekan tombol hubungi hijau yang selalu menyala, tapi untuk kesekian kali Dazai sadar kalau Chuuya bukan lagi siapa-siapa.

"...pemandian.."

Akhirnya Dazai menarik fokus pada percakapan.

"Tentu, kita bisa menginap sehari semalam disana." Tunangannya mengukir senyum di sela-sela percakapan dengan seorang pelayan.

Menyusul kemudian satu alis Dazai naik, "menginap?"

"Ya, di pemandian air panas di kota sebelah. Rekomendasi Papa."

"Tapi kita akan pulang besok."

"Kita akan pergi malam ini, lalu pulang besok. Tidak masalah kan?"

"Bisa terlambat kalau begitu.."

"Osamu-kun, kita hanya harus beli tiket pesawat sore, lagipula ada helikopter. Memangnya apa yang mendesak harus sekali pulang pagi?"

Dazai diam. Ia bisa saja mengatakan kalau ada janji dengan seorang guru untuk bimbingan, lalu apa? Orang berkuasa di hadapannya bisa saja membeli seluruh sekolah detik ini juga. Dazai hanya bidak.

Ia menghela napas, "Sore ya?"

Ia membuat janji bertemu dengan Chuuya di stasiun pukul sembilan malam. Menurut tips seorang traveller yang dibaca Chuuya, jika memesan kamar lebih pukul 12 malam maka hitungan sehari adalah 24 jam berikutnya jadi mereka bisa menginap hingga lusa pagi. Menunggu dini hari, mereka bisa mengisi malam minum di jalanan atau sekadar berjalan-jalan di trotoar kota beriringan. Sungguh apa yang akan terjadi sudah terbayang-bayang di kepala Dazai.

Mungkin bisa.

Jarak tempat Dazai sekarang dengan Yokohama hanya tiga jam. Ia bisa saja pulang sore dan tiba pukul tujuh dengan helikopter, kemudian langsung ke stasiun tanpa berbenah dan akan berbelanja ketika sampai di Yamaguchi. Bagus.

"Tentu. Kita bisa pulang sore."

Yang tidak Dazai prediksi hanya satu. Yaitu rencana licik Tunangannya menunda kepulangan dengan pura-pura sakit.

Wanita itu tahu apa yang akan Dazai lakukan, tentu. Wanita itu tahu kelemahan Dazai, tentu. Wanita itu tahu bagaimana menggunakannya.

Walaupun Dazai juga tahu sakit ini pura-pura, ia juga harus pura-pura merawatnya. Jika dia terlepas mengutarakan isi hati dengan melempar handuk ke wajah wanita dengan bentakan, "Urus saja kepalsuanmu sendiri, jalang!" mungkin wanita itu akan menangis, mengaduh pada ayahnya yang maha kaya, lalu Dazai akan diusir dari rumah.

Sungguh hal itu bukan masalah. Dazai yang dulu pasti akan senang jika bisa angkat kaki dari sangkar yang membelenggunya untuk memeluk Chuuya. Namun sekarang, setelah membagi mimpi dan Chuuya memberi dukungan, ia tidak ingin menyerah. Setidaknya itu pikiran Dazai.

"Kau akan jadi dokter yang hebat."

Satu kalimat sederhana, dari satu sosok yang paling istimewa, memaksa Dazai menelan amarah dan merawat gadis manja ini. Ya Tuhan, ternyata Dazai sangat mencintai Nakahara Chuuya.

"Kau tidak boleh pergi, kau harus jaga aku!" Gadis itu menangis dari balik selimut baldu tebal. Digenggamnya lengan Dazai dengan erat, dengan jahat, bertingkah rapuh padahal di kepalanya sedang tertawa melihat Dazai berkeringat karena jam hampir menunjukkan pukul lima sore.

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang