14. Kembali ke Titik Nol

2.3K 320 42
                                    

Ini sudah sekian kali Chuuya merasa iritasi setiap Sasaki Nobuko dengan senyum manisnya menghampiri meja Dazai Osamu.

Ia marah. Tapi tidak tahu marah pada apa atau siapa. Karena Sasaki yang cari perhatian, atau karena Dazai yang jadi targetnya. Dazai sudah punya pacar dan dia masih bisa membalas dengan senyum tampan begitu. Sungguh menyebalkan.

"Chuuya, aku mau minta tolong." Dazai menjegatnya di depan pintu. Dengan sebuah buku bersampul hijau dan hawa-hawa akan menyita waktu istirahat Chuuya.

"Aku mau makan," alasannya.

"Iya. Sambil makan juga tidak apa-apa. Tolonglah..."

Jujur saja Chuuya tidak punya niat terikat pada Dazai dengan alasan yang lebih banyak selain hutang apartemen. Tapi sesuatu yang ditempa menyatu dengan hatinya tidak bisa melihat sosok itu kesulitan. Chuuya menghela, untuk ketidakberdayaannya.

"Ya sudah, tapi aku ke kantin dulu."

Mereka memilih bangku di luar lapangan basket. Karena perpustakaan tidak memperbolehkan makanan masuk, dan tempat kesukaan Chuuya, kolam sakura, terlalu romantis untuk berdua dengan Dazai Osamu, inilah kesepakatan terakhir mereka.

Chuuya duduk pertama, menikmati roti lapis yang menjadi menu setiap harinya.

"Kenapa kau tidak bawa bento saja?"

"Tidak punya waktu.." satu gigitan. "Lalu? Ada apa?"

"Ajarkan aku buat puisi tolong..." wajah pemuda itu memelas. Chuuya terkejut, selain karena permintaan yang tidak disangka, tiba-tiba Dazai memperdekat hubungan mereka dari 'teman yang baru putus' menjadi 'teman akrab-akrab saja.'

"Buat apa?"

"Odasaku menyuruhku.." Jujur saja Chuuya merindukan wajah kekanakan yang bikin sebal itu. "Walau cuma butuh sertifikat, aku juga harus lulus batas nilai. Dannn,,,, nilaiku di sastra modern sangat rendah. Jadi Odasaku memberi tugas remedial membuat puisi modern."

Alis Chuuya naik, "nilai rendah?" kemudian ia mendengus. Hampir tertawa karena merasa menemukan titik jelek Dazai. Ini sama seperti masa lalu, saat mereka bersaing dan bertaruh, lalu menemukan kesalahan yang lainnya. Cepat-cepat Chuuya menggelengkan kepala.

"Kenapa kau minta aku? Kau punya banyak teman. Lebih dariku."

Dazai mengiba. Merasa ditinju di dada, namun ia membalas senyum. "Mereka bilang Chuuya pernah juara lomba puisi."

"Bukan berarti aku pandai mengajarkan-"

"Dan aku ingin mendengarmu lebih banyak."

Mata Chuuya melebar. Hampir saja jus jeruknya melewati saluran yang salah dan membuat tersedak. Ia menoleh, melihat sepasang manik kopi yang diikuti senyum lembut. Kehangatan itu mengiris hati Chuuya.

"Setelah bernyanyi, lalu puisi.. " Chuuya menghembus napas, "Sebenarnya apa yang kau inginkan, Dazai?"

"Aku hanya ingin mengenalmu." Dazai mengalihkan wajahnya ke lapangan. "Aku tidak memaksa agar kau kembali menjadi dirimu yang dulu, aku juga tidak memaksamu menghapus perasaan itu, Chuuya. Aku hanya mencoba mengenal dirimu yang sekarang, dan menerimanya."

Teriakan instruksi pemain bola mengisi hening itu. Mata Chuuya melembut, ikut melempar fokusnya pada lapangan walau yang dia lihat adalah sesuatu di masa lalu. Sebuah hari dimana Dazai memikulnya di punggung karena terkilir akibat jatuh. Masa yang bewarna emas, sekarang tinggal serbuk. Jatuh seperti salju di musim semi.

"Bukan hanya aku yang berubah." Kini giliran Dazai yang melihatnya. Pahatan yang begitu indah di wajah, helai jingga yang tersapu angin hangat.

"Aku juga tidak memaksamu menerima diriku yang sekarang.."

"Tapi kau akan terus mengejar, bukan?" Chuuya memvonis dengan kenyataan. "Bahkan saat aku mencoba lari, kau menarik rantai itu agar aku tidak menjauh."

"Kau terlalu kejam, Dazai Osamu." Bibirnya menarik senyum pahit. "Kau sama sekali tidak memberiku pilihan."

Entah apa namanya rasa yang membuncah di dada sampai Dazai bisa ikut menarik kurva di bibirnya. Kenyataan itu seperti sebuah anugrah, keajaiban yang benar-benar jatuh padanya. Bahwa Chuuya masih miliknya.

"Kau membencinya, Chuuya?"

"Ya." Terlalu tegas. "Tapi aku tidak tahu kemana arah rasa benci ini. Karena aku baru menyadari kalau sekarang kau satu-satunya yang mengenalku."

Dazai masih disana. Berada di hati bewarna hitam yang telah ia hancurkan dengan tangannya sendiri. Memenuhi seluruh ruangan dengan keberadaannya. Menyiksa sosok mungil itu lagi dan lagi. Terus menerus memberi harapan. Bagi Chuuya, Dazai masih satu satunya orang yang menjadi pegangannya di kebutaan.

"Jadi kau mau ajarkan atau mau kubuatkan?" Pikiran kalut di tutup, Chuuya membuka topik utama.

"Kalau bisa buatkan saja." Sifat egois itu masih melekat, memancing kesal dan rindu dari benak ai surai senja. "Tapi Odasaku bilang di ujian nanti juga ada soal puisi."

"Ujian masih lama."

"Chuuya, ini hampir akhir bulan juni. Sebentar lagi tengah semester.." Dazai melempar bukunya ke samping, lalu meregangkan tangan dan kakinya jauh membujur pada bangku. "Sebentar lagi liburan musim panas..."

"Iya juga."

"Bagaimana?"

Meski dia tidak ingin ikut campur, Chuuya tidak bisa berbohong tentang keinginan hati terdalamnya untuk berada dekat dengan sosok itu. "Sampai tugasmu selesai ya."

Pelajaran puisi tidak sulit. Dazai selalu bercanda dan menghindar, percis dirinya di masa lalu. Nostalgia itu membuatnya tertekan. Berkali-kali manahan diri untuk tidak menangis dan memeluk Dazai. Chuuya ingin berhenti.

Namun, ternyata dia bukan satu-satunya orang yang merasa tidak nyaman dengan hubungan mereka.

Entah siapa orang yang berhasil menuntun Chuuya ke belakang gudang sekolah. Dikepung tujuh orang brandalan. Jujur saja Chuuya sudah muak dengan hal-hal pertikaian karena selalu berakhir dengan patahnya tulang seseorang. Dahulu ia suka memukuli sasak untuk meredakan amarah, tapi sekarang? Tidak. Jika tertangkap berkelahi, pamannya akan dipanggil ke sekolah dah hal itu tidak boleh terjadi.

Belum selesai pikirannya memprediksi hal yang terjadi jika melawan atau menyerah, sebuah pukulan menubruk punggungnya.

To Be Continued

1 Agustus 2019
SeaglassNst

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang