05. Malam Saat Segalanya Menghilang

3.2K 386 93
                                    

Chuuya mengabaikan sakit di tubuhnya. Ia berlari, hanya berlari, kemana pun tidak peduli. Ia hanya ingin lari.

Tempat itu sebuah taman bermain kecil. Dengan kotak pasir, ayunan, dan luncuran. Chuuya berlutut, membagi semua sedih pada bumi karena kaki rapuhnya tidak lagi bisa bertahan. Ia menangis. Menahan isak dengan membekap mulut sendiri.

Tachihara tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak tahu siapa pria yang mereka lihat selain fakta keberadaannya yang begitu spesial di hidup Nakahara Chuuya.

"Chuuya-san?" bisiknya selembut mungkin. Menunduk agar sejajar dengan tubuh seniornya. "Chuuya-san.." sekali lagi ia memanggil. Menjulurkan tangannya, ingin membelai surai senja itu. Ingin memberinya pelukan untuk menguatkannya, namun ia tidak bisa.

Kenyataan yang telah terjadi adalah bukti bahwa Chuuya mengistimewakan orang lain dan Tachihara bukan siapa-siapa dihidupnya. Pahit. Dia tahu. Seharusnya dia tahu dari dulu karena Nakahara Chuuya hanya menganggapnya junior yang baik hati.

"Tachihara?" dengan suara serak Chuuya memanggilnya.

"Ya?"

"Maaf."

Satu kata sudah berarti banyak untuk Tachihara.

"Maafkan aku karena menangis di depanmu."

"Maafkan aku yang membuatmu mengejarku."

"Maafkan aku memperlihatkan sisi ini padamu."

"Maafkan aku yang tidak mampu berterimakasih dengan baik padamu."

"Maafkan aku yang mencintai orang lain dan tidak bisa membalas perasaanmu."

Tachihara mengerti semuanya.

Karenanya, dia tersenyum lalu menarik Chuuya ke dalam pelukan. Chuuya terhentak. Dia sudah menolak pria itu. Dia menolak Tachihara seperti Dazai menolaknya. Tapi pria itu masih memeluknya. Mengelus kepalanya dengan begitu lembut. Membiarkan air mata Chuuya membasahi pakaian hangatnya.

"Tidak apa Chuuya-san," bisiknya pelan. "Tidak ada yang perlu dijadikan alasan untuk minta maaf."

-0-0-

Chuuya sampai di rumah dengan mata sembab. Berkat perawatan Tachihara dan Kyoka, kondisinya jauh lebih baik. Pamannya seperti biasa, tertidur di kursi dengan kaleng-kaleng bir yang berserakan dan televisi menyala. Di pelukannya ada dua orang wanita yang berbeda dari kemarin. Menjijikkan.

Chuuya mematikan televisi, lalu naik ke kamar setelah meneguk segelas air dingin. Pintu dikunci, ia langsung menutup diri dengan selimut di atas tempat tidur. Handphone yang tertinggal kemarin sama sekali tidak menggoda, melihatnya malah membuat ia jadi ingin mematahkannya. Menyebalkan.

Kemudian dia menutup mata. Melupakan rasa sakitnya yang melihat Dazai dengan orang lain. Bahkan walau pria itu menolaknya, Chuuya sama sekali tidak bisa mengubur rasa cinta yang mekar selama sepuluh tahun tanpa bertemu.

Bagaimana sikap yang harus Chuuya tunjukkan besok? Dia tidak tahan dengan sesak di dada. Ia ingin mengatakan dengan jelas kalau dia mencintai Dazai Osamu. Tapi dia takut. Dia takut pria itu menolaknya lagi, lagi, dan lagi. Dia tidak punya keberanian mengatakan perasaannya, namun dia terlalu lemah untuk mengeluarkan Dazai yang selama ini selalu di hatinya.

Malam itu ia bermimpi tentang ingatan sebuah hari musim semi ketika di panti asuhan. Hari itu anak-anak disuruh memberi surat pada anak lain yang mereka anggap istimewa. Baik itu rival, teman, saudara, semuanya.

Tentu saja Chuuya memberi untuk Dazai dan mendapatkan dari Dazai. Dia ingat menuliskan sesuatu tentang kebiasaan buruk Dazai yang harus dihilangkan, tidak begitu penting. Namun surat yang diberi Dazai berbeda.

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang