16. Waktunya Kita Memulai Kembali

2.3K 289 22
                                    

Ketika itu Dazai mengetahui sentuhan yang ia lakukan adalah sebuah dosa. Mengingat bagaimana mata Chuuya terpejam, bibirnya menekuk, dan tangis yang ia redam, semua menjelaskan sebuah dosa.

Terkadang ia bertanya pada dirinya, "seberapa jauh kau akan menghancurkan orang ini, Dazai Osamu?"

Namun tidak ada jawaban yang didapat. Tidak ada jawaban yang dapat ia terima. Sebuah potongan di hatinya masih tersisa untuk Chuuya. Begitu kecil dan terjaga, namun sulit dimasuki. Sulit untuk ditemukan dan diisi kembali dengan kehangatan.

Sisi yang mereka ambil seperti mata koin. Apa yang bisa Dazai lakukan untuk kembali bertemu dengan masa lalunya?

"Aku bisa sendiri."

"Aku berjanji mengantarmu."

Langkah Chuuya terhenti di depan gerbang, "kau sudah mengantarku."

"Sampai tidak merasakan sakit."

"Keberadaanmu membuatku sakit." Tentu saja. Tidak terbayang bagaimana kuatnya Chuuya menahan kebahagiaan untuk memeluk Dazai. Bagaimana dia senang karena pemuda kopi itu mau mengantarnya ke rumah, merawat lukanya, memapah, dan menjaganya. Bagaimana cara untuk tidak kembali jatuh ketika pria itu memberi segudang perhatian?

"Kau benar-benar jahat." Senyumnya nanar, Chuuya berpaling dan mulai menaiki anak tangga. Tidak menolak ketika Dazai memasuki apartemennya. Chuuya berkeinginan untuk bangkit, karena itu satu-satunya pilihan yang ia punya selain terjun dari gedung pencakar langit.

"Aku tidak ada jamuan untukmu, jangan kecewa."

"Jangan terlalu formal," senyum membalas, "Duduklah.."

Dazai mengambil air hangat, bertindak seperti berada di rumahnya. Ia duduk di sebelah si sinoper yang telah menanggalkan seragam dan menggunakan tanktop abu-abu beserta boxer murah.

"Udaranya masih dingin, kenapa pakai pakaian ini?"

"Berterima kasihlah. Aku mempermudah pekerjaanmu." Mereka bertatap, lalu iris biru memalingkan wajah. "Untuk penjelasan, aku tidak meminta. Kau yang ngotot melakukannya. Jadi ini bukan hutang."

Hampir saja gelak Dazai terlempar jika Chuuya tidak mengaduh akibat luka yang salah tekan.

"Jangan lihar ke arah lain saat kau sedang bekerja, Pak Dokter. Ughh.."

Dazai tersenyum melihat sosok itu mengaduh dan meniup-niup luka di tangan yang menjadi objek salah tekan. "Kau tidak akan percaya kalau aku bilang rindu," ucapnya. "Setiap senja yang kulihat di pelabuhan, sepertimu. Aku tidak lupa."

Chuuya terhentak. Mencekat napasnya sendiri, menatap bola carnelian memendarkan tatapan paling jujur yang pernah ia dapat.

Tidak ada suara, bahkan luka menjadi pudar. Hanya mereka yang menatap satu sama lain. Dazai dengan harapan, dan Chuuya dengan kebingungan luar biasa.

"Kau tidak boleh lupa siapa orang yang-"

"-bersikap tak acuh terlebih dulu?" sekali lagi mulut Chuuya bungkam ketika Dazai memotong kalimatnya. "Aku ingat. Tentu, aku tidak akan lupa bagaimana wajah putus asa Chuuya waktu itu."

"Lalu kenapa kau-"

"Karena aku bukan orang yang layak untukmu, Nakahara Chuuya."

"H-ha?"

"Yang kulakukan hanya merepotkanmu, bukan?" Chuuya bergeming tatkala tangan kokoh membelai pipinya. Begitu lembut dan sangat ia rindukan. Ucapan yang tidak ingin ia dengar. "Aku begitu lemah kalau bersamamu. Bagaimana pun aku bersikap tidak peduli, aku selalu kembali padamu... Seperti saat ini."

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang