08. Detik yang Memulai Panjangnya Penyesalan

2.7K 372 67
                                    

"Aku tidak bisa lakukan itu."

"Eh?" alis tipis si brunette bertemu. "Kenapa?"

"Bukannya aku tidak mau, aku tidak bisa menceritakan semuanya.. Aku tidak bisa."

Memberi tahu Dazai tentang hidup, sama saja membongkar jiwanya yang secara paksa ditempa dunia, tanpa sebuah kehangatan. Chuuya tidak tahu seberapa kuat ia akan menangis jika melakukan hal itu.

Tangan yang bergetar tertangkap manik kopi, Dazai menggaruk kepala sebagai respon canggung. Dia memikirkan sesuatu yang mengubah Chuuya, sesuatu yang tidak bisa dibicarakan seorang Chuuya yang dikenalnya cerewet dan banyak tingkah. Mereka sama-sama berubah, Dazai mengerti. Namun ia ingin tahu penyebabnya.

"Bagaimana ya.."

Bagaimana cara membuat Chuuya bicara. Bagaimana cara membuat pertolongan itu menjadi sebuah balas budi. Dazai masih tidak menerima jika semua yang dia lakukan untuk pemuda itu adalah perbuatan cuma-cuma.

"Aku masih punya uang yang cukup untuk hidup," Chuuya mengintrupsi keheningan itu. "Kondisiku juga sudah baikan."

"Sangat tidak dapat dipercaya."

"Kau mana tau! Hh?"

Tentu saja Chuuya refleks menepis tangan Dazai yang tiba-tiba meraba keningnya. Pria jangkung itu terkesiap, kemudian melihat mata Chuuya yang tak beda seekor kucing liar.

Dazai tidak berkata, perlahan memajukan tangannya. Sedikit banyak ia tahu Chuuya ragu ingin menolak atau menerima, namun akhirnya dia tidak melakukan apa-apa hingga punggung tangan Dazai sampai di keningnya.

Chuuya diam. Kadang menutup mata saat Dazai meraba pipi dan lehernya. Suhu tubuh yang panas menunjukkan kalau Chuuya masih demam. Tentu saja Dazai tahu, ia calon dokter.

"Kau masih demam. Tidur di ruangan tanpa penghangat sama saja minta ICU."

"Aku terlalu lama disini. Terlalu lama bersamamu.." Chuuya meletakkan tangannya di leher tepat pada bagian Dazai mengecek suhunya. Memang benar ia merasa sangat lemah. Demam hampir turun, tapi kepalanya masih berkunang-kunang karena anemia. Meskipun begitu, dia tetap akan memaksa untuk pergi karena tidak mau berurusan dengan Dazai lebih lama lagi.

"Kalau kau sebegitu tidak ingin bersamaku, aku akan pulang. Kau nikmati kamar ini sendiri sampai waktu sewanya habis."

"Hah?" Chuuya menatap bingung. "Kau bodoh???"

Tidak habis pikir dengan orang satu ini. Apa dia sadar yang dilakukannya pada Chuuya kemarin? Menolaknya, menghinanya, menyakiti hatinya, memilih orang lain dan bukan dia. Kenapa dia masih bertingkah seolah Chuuya masih berpijak di permukaan bumi. Ayolah, Chuuya sudah terjun dari sebuah tebing. Dia hanya jatuh selama tubuhnya masih bernyawa, kemudian mati dan hancur ketika mencapai dasar. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Aku tidak ingin kau mati, Chuuya."

"Kepedulianmu itu berbahaya."

Chuuya memperingatkan. Bukan untuk Dazai, namun untuk dirinya sendiri. Dia begitu rapuh dan mudah terlena karena sikap Dazai. Semua hal yang ia terima hampir saja membuatnya kembali menyelami cinta. Tapi sekali lagi, ia menguatkan kutukan di hatinya. Cinta hanya akan menghancurkannya menjadi serpihan, walau dia tidak tahu apa lagi yang bisa hancur dari dirinya.

"Ya ampun.. Kau ini, tolong jangan pakai perasaanmu yang kuno itu." Dazai menekan dengan nada malas, tidak sadar kalau kalimatnya mengoyak hati Chuuya lebih lebar. "Yang aku lakukan atas dasar kemanusiaan. Tidak istimewa untukmu."

Chuuya hampir saja menangis. Hampir saja, namun ia menyeka air mata di sepersekian detik ketika Dazai memijit pelipisnya. Entahlah Dazai yang terlalu jahat dalam membantah, atau Chuuya yang terlalu bodoh karena berharap.

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang