17. Kau Memberi Mimpi, untuk Kesekian Kali

2.1K 287 9
                                    

Sebuah buku yang pernah Chuuya baca ketika berlibur bersama kedua orangtuanya mengatakan,

"Terkadang kita memaksa diri untuk percaya pada kebohongan, karena kita tahu kebenaran hanya menimbulkan luka lebih parah- dari yang bisa dibayangkan."

Dan Chuuya mengingatnya ketika sekali lagi Dazai berkecupan dengan seseorang yang tidak ia kenal, di depan apartemennya, setelah merawat seluruh luka di tubuhnya, setelah sebuah pengakuan tentang rasa suka.

"Aku kekasihnya." Chuuya jelas-jelas melihat sebuah rasa benci di mata gadis itu. Mata yang bersinar terang, besar, manis, dan enak dilihat. "Aku dengar Dazai kemarin merawatmu sampai lupa dengan kencan. Lalu sekarang dia merawatmu lagi?"

"Hei, jangan bahas masa lalu, ayo pulang." Dazai benar. Jangan bahas masa lalu. Jangan bahas masa dimana Chuuya terjaga sepanjang malam karena anak itu meringis akibat iritasi getah tanaman. Jangan bahas sebuah hari ketika Chuuya mencarinya sampai ke tengah bukit karena tersesat. Jangan bahas itu.

"Maaf merepotkan kalian." Ya, apa lagi kata yang pantas sebagai seorang teman sekelas yang telah banyak ditolong?

Wajah Chuuya sama sekali tidak bisa membohongi sepasang manik hazel itu. Jelas-jelas ada kecewa yang menyala di sana, ada sebuah kesal dan amarah yang pasti ditahan sekuat tenaga.

"Pergilah duluan, aku mau bicara sebentar dengannya."

"Aku akan menunggu."

Rahang Dazai menegang, "pergilah, akan kususul." Tatapan yang tidak jarang Chuuya lihat. Hanya saja ia tidak menyangka mata kelam itu dilemparkan pada orang yang memiliki jabatan kekasih. Gadis itu pergi, menghentakkan kaki seperti hendak meruntuhkan sepanjang koridor.

Mata mengarah ke ubin, Chuuya diam di ambang pintu. Mencoba bersikap santun menunggu tamunya pamit dan berbalik arah, namun tidak ada aksi.

"Aku menunggu kau pergi- oi!"

Chuuya terdorong mundur oleh sebuah tubuh yang menjebaknya dalam dekapan. Terkejut, lalu meronta karena pelakunya adalah Dazai Osamu.

"Lepaskan! Hei!!" Ia menolak dengan seluruh anggota tubuhnya, lalu meringis ketika luka tertekan. Perbedaan ukuran tubuh, penguncian sendi, dan puluhan rasa nyeri, Chuuya menyerah dengan motorik. "Ughh.... Dazai, lepaskan."

"Sebentar saja.."

Chuuya tidak tahu apa yang terjadi sampai Dazai memeluknya. Memberi kembali pelukan yang ia nanti-nanti selama terjebak dalam hidup gelap gulita. Chuuya tidak mengerti alasannya, ia hanya tahu kalau Hati benar-benar jadi mainan. Dazai adalah iblis paling kejam yang pernah ada.

"Kau membuat kesalahan." Tapi ia merasa nyaman di kesalahan itu. "Pacarmu di luar, dan kau memelukku.. Itu konyol. Terlalu konyol untuk kutanggung." Matanya panas, hendak menjatuhkan air mata. Dengan senyum nanar dan pahit, Chuuya menertawakan perasaannya. "Karena aku tidak bisa membenci ini..."

Ia membalas. Melingkarkan tangannya di punggung si brunette. Mengulangi sebuah hari dimana ia kembali merasa hidup. Menghirup udara yang benar-benar mendetakkan jantungnya.

.
.
.

-0-0-0-
.
.
.

"Aku kekasihnya."

Sebuah kata yang Dazai dengar dari mulut wanita itu menjadi sebuah titik balik. Biasanya ia tidak akan menggubris, karena bagaimanapun mereka memang sepasang kekasih. Sejak Dazai mencoba berada di dunia yang gemerlap, banyak teman dan seorang wanita menjadi pilihannya. Sekali lagi Dazai meyakinkan kalau ia mencintai wanita itu.

Namun keberadaan si sosok jingga membuat kata-kata fakta itu salah.

Terasa salah.

Apa benar yang seperti itu adalah cinta? Apa benar yang seperti itu layak dissbut cinta? Jiwa Dazai menginginkan sebuah kata dari si senja, menginginkan sebuah pengakuan dari si senja. Dazai menginginkan si senja. Kemudian memeluknya.

Penolakan tidak jauh dari prediksi, Dazai hanya tidak menyangka suara tinggi yang bergetar. Parau, dan isak mengiringi sepasang lengan mungil melingkar di punggungnya. Dekapan mengerat, Dazai mencuri kecupan dari puncak kepala si jingga.

"Aku tidak bisa membenci ini."

Seberapa tinggi egonya tumbuh sampai berkali-kali mencambuk Chuuya dengan perhatian lebih, tanpa bisa memberi sebuah pasti. Seberapa tinggi ia mencela sebuah cinta murni yang dimiliki sosok itu?

"Ini menyakitkan."

Dazai memutus rengkuhannya, tanpa berkata, tanpa melihat, segera berbalik dan pergi. Meninggalkan Chuuya sendiri di sana hanya karena ia tidak berani menatap mata birunya.

"Kenapa kau tidak mengizinkanku membiarkanmu pergi?" Chuuya mendekap dirinya sendiri, "sialan."

To Be Continued

6 September 2019
SeaglassNst

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang