15. Dibalik Tabuhan Luka

2.3K 317 57
                                    

Langit senja seperti sosok itu. Dazai rindu.

"Kekasihku, hentikanlah lagu sedih itu.." ia membaca secarik kertas, puisi karya Nakahara Chuuya yang tahun lalu menjadi juara nasional. Tapi berapa kali pun mengulang lirik dan nada, pembawaannya tidak pernah menyerupai Chuuya.

Memang Chuuya pandai membuat puisi, tapi membacakannya adalah hal lain. Ia lebih dari sekadar ahli. Semua tone di suaranya menjadi isi dari puisi itu. Gerakan tangan, mata biru yang bergelombang, helaan napas, adalah bagian syair yang menghanyutkan.

"Karena jiwamu begitu gelisah," Dazai mulai menggerakkan tangan, berusaha menjiwai, "..kau nyanyikan lagu itu.."

Tidak layak.

Suaranya bergetar dan datar. Tidak seperti Chuuya.

Segera Dazai lempar catatannya ke atas meja dan beralih ke jendela. Lapangan dipenuhi anak-anak yang berlari di kelilingnya. Di ujung cakrawala, burung laut pulang ke sarang. Dazai juga harus pulang. Namun satu-satunya tempat yang layak ia sebut rumah telah hilang dari genggamannya. Sisi Chuuya.

Selama seminggu pelajaran ini jelas sekali Chuuya menjauhinya. Berbicara dari jarak lima kaki, menjawab sekenanya, menahan diri untuk tidak menunjukkan kejelasan. Seberapa banyak Chuuya membencinya- Dazai ingin tahu.

Ngomong-ngomong tentang Chuuya, carnelian Dazai menangkap sosok senja itu di balik gedung olahraga. Hanya tubuh pendeknya yang berhadapan dengan dua orang anak kelas tiga. Ya, Dazai terbilang cukup rajin bergosip dan menghapal hampir seluruh wajah di sekolah.

Penasaran. Bertanya-tanya apa yang dilakukan Chuuya bersama mereka di sana. Kemudian terlonjak setelah melihat sebuah tongkat baseball menghantam punggung Chuuya. Dazai mendongak. Hampir jatuh dari jendela.

Sedetik setelah Dazai hendak pergi, ia terjeda. Tidak akan ada yang bisa ia lakukan jika berada disana, malah ia akan dipukuli juga dan tidak ada yang membawa Chuuya ke ruang kesehatan. Jadi Dazai menunggu. Menahan perih di dadanya ketika melihat mereka memukuli tubuh kecil itu dari kejauhan.

Kembali tersentak, ia tahu Chuuya bangkit. Mulai membalas pukulan demi pukulan yang diterimanya dua kali lipat. Tubuh mungilnya gesit, mungkin tinjunya juga cukup membuat lebam. Gerakan itu membabi buta, bukan sebuah bela diri indah. Namun menjelaskan pengalaman pertarungan, dari semua penyiksaan yang dialaminya, Chuuya tidak lagi ragu mematahkan semua tulang seorang manusia.

Dazai mengambil langkah awal untuk menemui Chuuya.

Di tempat itu hanya ada satu orang yang berdiri. Pemilik surai senja.

"Kau terlihat tangguh."

Chuuya menoleh ke arahnya. Mata biru itu tidak pernah terlihat, penuh dendam dan amarah. Bukan milik Chuuya. Samudra yang Dazai kenal begitu bergelombang hangat, kadang berombak deras seperti badai saat ia menahan tangis. Namun kali ini begitu tenang, seakan seekor monster bersemayam di dalamnya.

"Kau hanya melihat dari atas?" Chuuya meludah, darah. "Terimakasih."

Tepat waktu bagi Dazai menangkap tubuh mungil yang terjatuh. "Lepaskan," ia berontak.

"Aku menunggu agar bisa ambil peran membawamu ke ruang kesehatan." Tangan Chuuya dilingkarkan ke bahunya. Dazai merindukan aroma itu, seperti bunga matahari. "Tenang dan biarkan aku membawamu."

Chuuya tidak banyak bicara dan bergerak di sanggahan Dazai. Membiarkan tangan si brunette melingkar di pinggul dan menyeretnya ke lantai dua.

"Seharusnya kau mencari aman dengan tidak berkelahi jika ingin lari dari pamanmu, Chuuya."

"Aku dijebak, sialan." Chuuya melepas almamater, Dazai mengunci pintu ketika kemeja putih yang berdebu menyusul. Di atas kasur rawat ada seorang Nakahara Chuuya yang telah memancing bara di dada Dazai, dengan tubuh mungil penuh luka yang masih indah dipandang.

"Kau punya bekas luka sebanyak aku, Chuuya."

"Lukamu belum hilang?" Chuuya meringis ketika lebam di pipi terkena alkohol. Dazai menggeleng, mulai mengompres dengan es batu. "Kau tidak berusaha menghilangkannya?"

Gelengan sekali lagi, Dazai beralih pada kaki si mungil. Menggulung celana hingga tampil tengkorak lutut yang juga lebam. "Aku mengingatmu dengan luka-luka ini."

Bukan memar itu yang ada di pandangan walau mata Dazai mengarah padanya. Ia melihat hari dimana Chuuya memeluknya tiap sakit menyiksa dari bekas cambukan. Ia mengingat Chuuya yang memasang satu persatu perban itu setiap hari, tanpa mengeluh dan mengatakan 'kau tidak pernah terlihat buruk bagiku.'

Sebuah kebahagiaan.

Dazai kembali ke kenyataan karena hening yang menjawab kata-katanya. Ia melihat ke atas, mata biru berkaca seperti permata yang baru disucikan.

Ia tersenyum, "sekarang kau sangat menyukaiku sampai ikut-ikut mengoleksi bekas luka, Chuuya?"

"Jangan bodoh. Aku melakukan yang terbaik menghilangkan bekas lukaku."

"Yaa..." Dazai menekan leher si mungil dengan ibu jarinya. "Kemarin aku melihat ruam disini, sekarang hilang total. Kulitmu kembali indah."

Chuuya menghela, maklum dengan omong kosong Dazai. "Lalu, bagaimana cederaku, Pak Calon Dokter?"

"Cuma memar sedikit. Yang luka sudah diberi alkohol, jadi kau tinggal kompres dengan es batu di rumah."

Tangan Chuuya tidak menahan Dazai yang mengancingkan kemejanya dari atas ke bawah. Azurenya sibuk melihat pahat wajah itu, membandingkannya dengan masa lalu. Chuuya tidak ingat memerintahkan tangannya membelai pipi si brunette, mengingat bekas goresan si pipi yang dulu menodai kulit pucatnya.

Mata Dazai beralih menjawab tatapannya, melihat sendu dari malam yang ia habiskan bernapas di pelukan Chuuya. Tidak ada penolakan ketika jemari mungil menggeser helai kopinya, mengintip ke kening dan mendapati bekas jahitan. Chuuya mengingat semuanya. Semua bekas luka yang sudah pudar di tubuh pemuda itu.

"Hubungan kita," suaranya memecah sunyi, "apa namanya?"

Terhentak, Dazai tidak memberi reaksi selain melebarkan mata. "Apa yang kau inginkan, memangnya?"

"Yang aku inginkan tidak bisa kau beri, Dazai. Kau tahu itu."

Tentu. Chuuya ingin tetap mencintainya, dan Chuuya ingin dia juga membalas cinta yang sangat dalam itu. Tapi dunia tidak memberi izin. Kehidupan melarang mereka. Dazai tahu hatinya telah dirubah dengan kepercayaan semu, dan sulit kembali ke masa dimana Chuuya menjadi lentera dalam sengsara. Ia sudah memilih. Ia sudah memilih untuk menjadi dokter, menjadi seorang anak yang menurut pada orangtua. Menjadi Dazai Osamu yang hidup demi masa depan.

Walau itu terasa salah.

"Akan kuantar kau pulang."

Si pengecut Dazai menyudahi topiknya. Memanggil senyum pahit di bibir tipis Chuuya. Tentu. Mereka tidak memiliki hubungan apapun. Hanya teman sekelas sampai kelulusan. Tapi teman sekelas tidak punya rasa menggebu ingin merengkuh satu sama lain...

To Be Continued

10 Agustus 2019
SeaglassNst

Spring FallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang