Mengapa rasanya hatiku tak asing ketika melihatmu? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?
****
Di sisi lain, Alda masih setia menemani Omanya di rumah sakit. Suara monitor yang terdengar di ruangan ini membuat Alda mengembuskan napas panjang. Akankah Omanya baik-baik saja? Semoga saja begitu.
Alda menggenggam tangan kurus milik Omanya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi Omanya masih belum bangun juga sampai sekarang. Alda sungguh tidak sabar untuk melihat Omanya terbangun. Ia ingin menanyakan mengenai semua hal yang disembunyikan Omanya. Terutama penyakit yang diderita wanita renta yang menjadi keluarga satu-satunya yang masih ia miliki sampai kini.
"Alvino lagi ngapain ya? Apa dia masih marah sama gue?" gumam Alda. Gadis itu menghela napas panjang. Di tatapnya wanita yang masih setia memejamkan matanya itu. "Oma, Alvino sekarang aneh. Alda gak tau apa ini cuman perasaan Alda doang atau gimana. Tapi ... Alda merasa kalau ada hal yang disembunyikan Vino dari Alda."
"Oma masih inget Vino, 'kan? Anak cowok yang sok-sokan ngasih Alda boneka beruang dari uang tabungannya?" Alda tersenyum kecil mengingat kembali momen-momen itu.
Tanpa Alda ketahui semenjak Alda berbicara dengan Omanya, seorang lelaki yang memakai seragam sekolah dan memakai tas di punggungnya kini berada tepat di depan pintu. Lelaki itu sedari tadi hanya bisa terdiam melihat Alda yang menggenggam tangan wanita tua yang tadi malam di jaganya. Lelaki itu merasa seperti pernah bertemu dengan Alda, tetapi di mana?
"Oma tahu? Sekarang dia udah ganteng. Gak dekil lagi kaya dulu. Dia ... udah nepatin janjinya untuk selalu ngebuat Alda bahagia. Menurut Oma, apa Alda salah kalau Alda sayang sama Vino?" Alda masih bermonolog sendiri, walau tahu Omanya tak akan merespon apapun.
Tanpa terasa setetes air mata pun jatuh dari kelopak matanya. Cepat-cepat Alda menghapusnya, tak ingin terlalu terbawa perasaan. Ia menghela napas panjang agar ia sedikit tenang. Selepas itu, ia berdiri dan berniat keluar untuk mencari udara segar. Betapa terkejutnya Alda melihat seorang lelaki yang tak Alda kenal ada di ruangan Omanya.
"Anda siapa?" tanya Alda bingung.
Lelaki itu memasang wajah datar. Tatapan matanya dingin, ia mencoba mendekat ke arah Alda. Gadis itu tetap pada posisinya, tak mencoba melarikan diri. Setelah lelaki itu ada di hadapannya, kini Alda mulai sedikit takut. Tetapi masih bersikap normal seperti biasanya.
"Vin," kata lelaki itu singkat.
Alda mengernyitkan alisnya bingung. "Hah?"
Lelaki itu berdecak pelan lalu menghela napas panjang, ia menatap Alda dengan tatapan serius. "Saya Vin, orang yang tadi malam nelpon kamu."
Alda terkejut, ia menatap Vin dengan canggung. "Maaf, Saya gak tahu kalau Anda yang menelpon saya kemarin."
Vin tersenyum tipis. "Gak apa-apa. Gak usah terlalu formal, kita seumuran kok. Tujuh belas tahun."
Alda mengernyitkan alisnya bingung, bagaimana lelaki ini tahu mengenai umurnya? Vin yang dapat menebak Alda sedang kebingungan pun tersenyum canggung. "Gue sering denger cerita Oma tentang lo."
Mengerti akan penjelasan Vin, Alda pun tersenyum kecil. "Makasih udah jagain Oma, duduk aja dulu. Biar gue beliin makanan sebentar."
"Santai aja, gue ke sini cuman mau mastiin Oma ada yang jagain, habis ini juga gue balik lagi ke sekolah, jadi lo gak perlu keluar buat beli makanan," kata Vin.
Di tengah percakapan mereka, tiba-tiba suara perut Alda yang berbunyi membuat Vin terkekeh pelan. "Kayanya bukan gue deh yang harus dibeliin makanan, tapi lo."
Alda mengerucutkan bibirnya sebal. Vin yang gemas akan hal itu pun mengacak rambut Alda pelan. "Gak usah bete gitu, gue ke kantin dulu deh. Lo mau makan apa?"
Dengan mata berbinar Alda pun menatap Vin lekat. "Mie rebus pake lontong. Cabenya jangan banyak-banyak. Minumnya teh manis dingin."
"Itu doang?" tanya Vin.
Alda mengangguk, Vin pun keluar setelah mengetahui jawaban gadis itu, Vin tersenyum kecil setelah keluar dari ruangan, mengapa senyum gadis itu seperti tak asing baginya? Dan mengapa setiap melihat gadis itu tersenyum membuat hati Vin menghangat?
Di dalam ruang rawat Omanya, Alda pun bingung dengan sikapnya kepada Vin, mengapa ia merasa begitu dekat dengan lelaki itu di masa lalu? Apakah lelaki itu memang dekat dengannya dahulu? Entahlah, ia pun tak tahu. Yang terpenting sepertinya Vin bukanlah orang jahat. Jadi ia tak perlu khawatir lelaki itu akan berbuat macam-macam kepadanya.
Alda kembali ke tempat duduknya yang ada di sebelah ranjang rumah sakit. Ekor matanya melihat sebuah notifikasi dari ponselnya entah dari siapa. Karena khawatir itu adalah Alvino, Alda pun membuka notifikasi tersebut dan ternyata yang mengiriminya pesan adalah...
Raka.
Mengapa lelaki itu tak berhenti juga untuk mengejarnya? Menyebalkan memang, tak ingin terlalu memikirkan pesan dari Raka, Alda melihat roomchat-nya bersama Alvino, lelaki itu sedang online, tetapi mengapa tak mengirimi Alda chat?
"Sebegitu keselnya lo sama gue, Vin?" gumam Alda. Ia menaruh kembali ponselnya ke tempat semula.
Alda menghela napas panjang, "Kenapa hati gue gak bisa tenang kalo gak ada lo di sini?"
****
Di tempat lain, kini Alvino sedang duduk di meja makan bersama keluarganya dan juga Bagas. semenjak tadi, Alvino hanya mengaduk-aduk makanannya. Ibu Alvino yang melihat putranya seperti itu pun mencoba memecah keheningan.
"Vino, gimana sekolah kamu?" tanya Ibu Alvino.
Tak ada jawaban. Alvino masih mengaduk-aduk makanannya tanpa menjawab pertanyaan Ibunya. Sampai akhirnya, Caca yang duduk di samping Alvino pun menepuk pelan bahu Kakaknya itu. "Abang?"
Alvino tersadar. Dengan cepat ia menatap Caca bingung. "H-hah? Kenapa Ca?"
"Abang kenapa?" tanya Caca.
Alvino mengernyitkan alisnya bingung. Tak mengerti akan pertanyaan Caca. "Abang mikirin apa?"
"Nggak kok, Abang gak mikirin apa-apa," balas Alvino sembari memaksakan sebuah senyuman di bibirnya.
"Kalau kamu gak mikirin apa-apa kenapa makanan kamu cuma di aduk-aduk doang? Perlu Mama masakin yang lain?" kini Ibu Alvino yang berbicara. Caca mengalihkan tatapannya ke depan. Tak ingin berbicara apapun lagi. Bagas yang melihat perubahan sikap Caca pun hanya bisa terdiam karena tak ingin ikut campur.
Alvino bangkit dari duduknya. "Vino keluar sebentar."
"Mau ke mana kamu Vin?" tanya Ayahnya yang menyadari perubahan sikap Alvino.
"Ke tempat di mana masalah Alvino hilang," kata Alvino.
Setelah mengatakan itu, Alvino berjalan menjauhi meja makan. Ibunya hanya bisa menghela napas panjang melihat sikap Alvino yang membingungkan seperti tadi.
Alvino mengambil kunci motornya di meja nakas. Ia sedang tidak mood mengendarai mobil. Entah akan kemana ia pun tak tahu. Yang ia ingin lakukan sekarang adalah melupakan Alda untuk sejenak. Walaupun pada kenyataannya ia tak akan pernah bisa melakukannya.
Menghela napas panjang, Alvino kini mulai memakai helm-nya lalu menaiki motor sport miliknya dengan santai. "Gue ... nggak akan bisa tenang sebelum ngelihat lo baik-baik aja, Al. Maaf, gue harus ngelanggar janji gue sama lo hari ini."
****
Halo! Terimakasih sudah mampir dan membaca, semoga kalian suka❤ see u zeyenk😍👑
KAMU SEDANG MEMBACA
Davino [End] ✔
Teen Fiction[Harap Follow terlebih dahulu sebelum membaca] Tq. "Utamakanlah perasaan dari pada persahabatan." Mungkin kalimat itu tak berlaku bagi Alvino Sandi Geraldo. Lelaki yang sudah menjadi sahabat Alda Silfiani Claretta sejak kecil itu memilih untuk memb...