Part 22 - Jadi dia...

906 68 16
                                    

Jangan awali pagimu dengan sendu, Jangan tersenyum jika kamu merasa pilu, setelah semalam kamu bisa menangis dengan puas, maka hanya pagilah waktu terbaik agar kamu bisa bernapas lepas.
________________________

****

Salah satu hal yang Alvino benci adalah mengkhawatirkan sesuatu yang tak perlu dikhawatirkan. Mengapa? Karena rasanya sangat menyiksa. Jika saja kemarin Saka, Dirga dan Axel tidak mencegahnya, pasti tadi malam Alvino sudah berada di club atau arena balap seperti dulu. Tetapi ia tak melakukan itu karena sahabatnya yang menyadarkan Alvino agar tak melakukan hal yang salah.

Bisa kalian tebak sekarang Alvino di mana? Kini, Alvino berada di sebuah ruangan berisi tiga orang lelaki lagi di dalamnya. Mereka bertiga masih tertidur pulas sedangkan Alvino sepanjang malam tak bisa tidur karena kecemasannya yang tak kunjung surut.

Suara ketukan pintu dari luar membuat Alvino bangkit dari tidurnya, ia membuka pintu dan terlihatlah seorang gadis remaja yang kini telah memakai seragam putih biru sambil menatap Alvino penuh rasa canggung. "Tolong bangunin Abang Dirga dong, Bang Vino! Udah jam setengah enam. Riri nanti telat."

Alvino hanya berdehem untuk menjawab pertanyaan gadis bernama Riri itu. Alvino sudah mengenalnya, dia adalah adik dari Dirga walaupun bukan adik kandungnya. Dirga menyayangi Riri layaknya Kakak lelaki yang sebenarnya. Entah mengapa Dirga amat menyayangi Riri walaupun gadis kecil itu bukan adiknya.

Tak ingin terlalu larut dalam pemikirannya, Alvino segera menutup pintu kamar dan kembali duduk di pinggiran kasur. "Ga, bangun. Riri udah siap di depan."

"Hngh, 5 menit lagi Ma, " jawab Dirga asal, karena tak tahu bahwa Alvino yang kini membangunkannya.

Alvino menatap Dirga malas. Sejak kapan suaranya menjadi mirip dengan Ibu Dirga? Sahabatnya ini sepertinya harus memeriksakan telinga ke Dokter THT agar bisa membedakan suara saat tertidur.

Dengan sedikit kesal, Alvino mengambil sebuah bantal tidur yang ada di kasur. Ia berdiri dan mulai memukuli badan Dirga dengan menggunakan bantal tersebut. Dengan mata yang masih setengah mengantuk, mau tak mau Dirga pun bangkit dari tidurnya. "Ngapain sih lo pukul gue pake bantal? Ganggu mimpi gue aja."

"Adik lo udah nungguin di luar, jangan ngebo mulu. Jadi Abang kok gak bertanggung jawab banget," ketus Alvino.

Dirga menatap Alvino kesal, "Berisik lo! Minggir!"

Dengan segera, Alvino pun menyingkir dari hadapan Dirga. Ia sedang tidak dalam kondisi yang siap untuk berdebat sekarang. Bahkan untuk bersekolah pun ia sedang tidak mood.

Axel yang terganggu oleh perdebatan Alvino dan Dirga sebelumnya pun kini ikut terbangun. Tanpa mengatakan apa-apa lelaki itu pergi dari kamar Dirga sambil mengambil handuk yang ada di belakang pintu kamar.

Melihat Axel yang tiba-tiba pergi seperti itu membuat Alvino menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yang satu ngajak ribut mulu kayak anak TK. Yang satu diem mulu kayak zombie kurang darah. Dosa apa hambamu ini ya Tuhan."

"Banyak!" seru sebuah suara dari belakang. Saat Alvino melihat siapa yang berteriak, ternyata itu adalah Saka yang kini menciptakan sebuah senyuman tengil di bibirnya.

"Serah!" balas Alvino sengit. Setelah mengatakan itu, ia langsung pergi dari kamar Dirga.

Saka yang melihat Alvino meninggalkan kamar pun hanya bisa menghela napas panjang, "Susah emang ngomong sama orang yang lagi galau. Serba salah!"

****

Setelah satu hari menjaga Omanya, kini Alda tengah mengobrol santai dengan Vin di taman rumah sakit. Omanya telah sadar dan sedang diperiksa oleh dokter yang merawatnya. Ia dan Vin diperintahkan untuk keluar dari ruangan rawat Omanya. Entah karena alasan apa Alda pun tak tahu.

"Jadi, lo itu anak cowok yang suka di jailin sama Alvino gara-gara dulu lo deket sama gue?" tanya Alda pada Vin yang kini hanya bisa tersenyum tipis.

Pantas saja ia merasa tak asing dengan wajah dan sikap Vin. Ternyata lelaki itu adalah teman masa kecilnya, masih Alda ingat betul dulu dirinya selalu diperebutkan oleh Alvino dan Vin. Entah karena apa mereka berdua tak bisa akur waktu dulu.

Bahkan sampai Vin pindah ke luar kota pun, Alvino masih saja tetap tak menyukai Vin. Masih Alda ingat betul saat itu usianya masih 4 tahun. Tetapi sudah berurusan dengan dua anak lelaki yang membuatnya kesal setiap waktu karena mereka tak bisa akur satu sama lain. Kenangan yang sangat menyebalkan bukan?

"Masih ingat gak dulu lo nangis gara-gara boneka barbie lo dirusak sama Alvino dan gue dengan jeniusnya benerin boneka itu? gue masih gak ngerti sih, sampai sekarang kenapa gue jenius banget ya?" kata Vin dengan percaya dirinya.

Alda mendecih. "Jenius apanya? Lo cuma sambungin kepala barbie gue ke tempat semula dan lo bilang itu jenius?"

Vin terbahak. Ditepuknya puncak kepala Alda pelan. "Lo emang gak banyak berubah ya. Masih aja galak."

"Gue gak galak!" sahut Alda tak terima, dengan brutal gadis itu mencubiti lengan Vin.

"Aw! Aw! Sakit gila! Tenaga lo kaya tenaga kuli dah Al," kata Vin.

Alda menghentikan aksinya mencubit Vin. Dengan kesal ia menabok kepala Vin sedikit keras. "Nyebelin lo!"

Bukannya marah, Vin malah tersenyum tipis. "Bercanda Sayang."

"Gak usah ngalus!" ketus Alda.

Vin menatap Alda. Gadis itu masih tetap cantik walaupun sudah sebelas tahun tak bertemu. Tidak heran jika semenjak dulu Alvino sangat tak suka kepadanya karena dekat dengan Alda. Gadis itu masih tidak berubah. Masih Alda yang baik dan selalu membuat hatinya menghangat setiap melihat senyum terbit di wajah cantik itu.

Alda yang merasa diperhatikan pun menolehkan kepalanya ke samping. Mengapa Vin menatapnya seperti itu?

"Lo kenapa liat gue sampai segitunya? Terpesona?" tanya Alda dengan percaya dirinya.

"Pede banget," cibir Vin.

"Gak mau ngaku aja lo, dasar manusia," kata Alda.

"Emang lo bukan manusia? Hah?" tanya Vin tak terima.

"Gue kan bidadari, bukan manusia Mas. Maaf aja nih," ujar Alda dengan mengibaskan rambutnya ke kanan.

Vin mendecih. "Serah lo aja deh."

"Eh by the way ... gue masih bingung deh. Kok lo bisa kenal Oma gue? Ngintilin gue ya lo selama ini?" tanya Alda. Matanya menatap Vin dengan tatapan intimidasi. Sedangkan Vin hanya menatapnya datar sembari menghela napas pelan.

"Bisa gak sih kenarsisan lo tuh berkurang dikit aja?" kata Vin.

"Apa? Gak denger, gue pake kacamata," canda Alda.

"Apa urusannya gak bisa denger sama kacamata bego!" cerca Vin.

"Suka-suka orang cantik dong," kata Alda.

Vin mendengkus kesal. "Bodo ah. Gak liat, gue pake headseat."

"Lo juga ikutan bego ya," balas Alda sambil terbahak.

Setelah mengatakan itu, mereka berdua akhirnya tertawa bersama. Entah menertawakan apa. Akhirnya setelah sekian lama Alda bisa merasakan rasanya bahagia untuk sekali lagi. Ia sangat berterima kasih kepada takdir yang mempertemukannya dengan Vin hari ini. Karena berkat lelaki itu, ia bisa bahagia kembali walau pun sejenak.

****

Halo! Aku kembali lagi bersama pasangan prenzone yang gak kelar-kelar musuhannya wkwk:v see u in next part sayangquu❤

Davino [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang