Tak ada yang lebih membahagiakan daripada cinta yang kini sudah terbalaskan.
****
Sebuah kertas undangan kini dipegang oleh seorang wanita berusia dua puluh empat tahun. Wanita itu membolak-balik kertas undangan yang ada digenggamannya. Tak lama, ia menghela napas gusar kala ekor matanya melihat tanggal yang tercantum di sana.
Dua hari lagi, wanita itu akan menjadi seorang istri. Tak terasa waktu sudah berjalan bergitu cepat. Apakah ia akan bahagia sekarang? Entahlah. Semua tergantung rencana Tuhan. Ia akan menjalani kehidupannya dengan tenang. Tak ingin membuat kekacauan lagi.
Cklek!
Pintu kamar wanita itu terbuka. Menampilkan sesosok lelaki yang lebih muda darinya. Wanita itu berdiri. Mencoba untuk mendekati lelaki itu, tapi gagal karena lelaki itu lebih dulu berkata. "Kakak duduk aja. Aku cuman mau ngobrol bentar, kok."
Wanita itu duduk kembali. Ia menatap lelaki yang kini mendekat ke arahnya. "Kakak baik-baik aja?"
Dengan cepat wanita itu mengangguk. "Kakak gak apa-apa kok. Bentar lagi juga lukanya sembuh."
Lelaki itu kini berjongkok di hadapannya dan menyentuh kakinya lembut. "Pasti sakit ya, Kak?"
"Sedikit. Tapi gak apa-apa. Lagian Vino udah bawa Kakak ke klinik," kata wanita itu mencoba menenangkan.
"Kakak bahagia?" tanya lelaki itu.
"Kakak bahagia, Gas," balas wanita itu kepada Adiknya, Bagas.
Bagas menghela napas panjang. "Apa Kakak yakin?"
"Dengerin Kak Alda ya, Gas. Vino sayang sama Kakak. Dia jagain Kakak selama ini. Itu udah cukup. Kamu gak perlu khawatir, ya?"
Bagas terdiam. Ditatapnya Alda yang kini menatapnya tanpa keraguan. "Jangan suka sedih-sedih lagi ya, Kak. Bahagia terus. Bagas sayang Kakak."
Setelah mengatakan itu, Bagas memeluk Alda erat. "Kakak lebih sayang kamu, Gas."
"Udah ah, anak cowok gak boleh sedih lama-lama. Kita kan gak akan pisah walau pun nanti Kakak akan nikah." Alda melepaskan pelukan Bagas setelah mengatakan itu. Adiknya itu tersenyum tipis. "Bagas beruntung punya Kakak kayak Kak Alda."
Alda menggeleng. Ditangkupnya dagu Bagas agar menatapnya. "Jangan bilang begitu. Kakak yang harusnya beruntung punya Adik kaya kamu. Ngerti?"
Bagas mengerucutkan bibirnya lalu melepaskan tangan Alda dari dagunya. "Kenapa sih Kak Alda gak mau ngalah dari Bagas?"
"Karena Kakak cantik," kata Alda dengan tingkat kepercayaan dirinya yang mulai keluar. Membuat Bagas menyesal mengatakan hal-hal serius kepada Alda. Kakaknya ini memang terlalu narsis. Tapi mengapa Alvino tahan dengan sikap Kakaknya yang aneh ini?
Bunyi dering telpon dari saku Bagas mau tak mau membuat lelaki itu mengambil ponselnya. Namun, Bagas hanya memandang ponselnya tanoa berniat untuk mengangkatnya.
"Siapa, Gas?" tanya Alda heran karena tak biasanya Bagas bersikap seperti ini.
"Bukan hal penting kok, Kak. Aku ke kamar dulu ya," kata Bagas mencoba menghindari pertanyaan Alda.
Setelah berkata seperti itu, Bagas pergi dari kamar Alda dengan membuat Kakaknya itu semakin curiga. Apa yang sebenarnya terjadi?
****
Dua hari kemudian ...
Di kamarnya, kini Alda merasa gelisah. Pernikahannya akan dilaksanakan beberapa saat lagi. Namun entah mengapa perasaannya tidak menentu sedari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Davino [End] ✔
Teen Fiction[Harap Follow terlebih dahulu sebelum membaca] Tq. "Utamakanlah perasaan dari pada persahabatan." Mungkin kalimat itu tak berlaku bagi Alvino Sandi Geraldo. Lelaki yang sudah menjadi sahabat Alda Silfiani Claretta sejak kecil itu memilih untuk memb...