Aku harus berbahagia. jika tidak merasa bahagia, maka semua usaha yang kamu lakukan untukku selama ini akan sia-sia. Bukan begitu, Alvino? - Alda Silviani Claretta.
****
Sudah satu minggu Alvino tak pulang ke rumah. ia sengaja menginap di Vila keluarganya yang ada di puncak. Ayah dan Ibunya sudah mengetahui Alvino ada di sini. Jadi mereka tak perlu khawatir.
Ponselnya berdering semenjak pukul enam pagi. Tapi Alvino seperti tak peduli dan tetap melanjutkan aktivitasnya. Tidur.
Dering pada ponselnya berhenti, dengan malas ia melihat ke arah layar ponsel dan melihat beberapa notifikasi. Sedari tadi pagi ternyata yang meneleponnya tak lain dan tak bukan adalah Alda, sahabatnya.
Kalau kalian bertanya apakah Alvino sedang marah? Maka jawabannya adalah iya. Mengapa? Entahlah. Ia hanya tak suka melihat kedekatan Vin dengan Alda walaupun Vin adalah temannya semasa kecil.
Alvino menghela napas berat. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Rasanya ia ingin menenggelamkan Vin di samudra hindia saja. Agar lelaki itu tak akan bisa mendekati Alda.
Sebuah ketukan pintu dari depan kamarnya membuat Alvino menghela napas panjang. "Masuk!" seru Alvino dari dalam kamarnya.
Cklek!
Pintu terbuka. Kini dapat Alvino lihat Dirga membawakan segelas susu dan sepiring roti sandwich menggunakan nampan. Tanpa mengatakan apa pun, Alvino bangun dari tidurnya dan langsung mengambil alih nampan itu dari tangan Dirga.
"Lain kali gak usah bawain gue makanan. Gue bakal makan sendiri kalau gue lapar." Alvino menatap Dirga sebentar, sebelum akhirnya berbalik dan menaruh nampan pada meja yang ada di kamarnya.
"Kalau bukan karena Bi Ijah nyuruh gue bawain makanan ke kamar ini, gue juga ogah kali bawain makanan buat orang yang keras kepala kaya lo," kata Dirga.
Alvino menghela napas. "Alda nelpon lo?"
Dirga mengangguk. "Jangan kasih tau apapun ke dia kalau gue ada di sini," kata Alvino.
"Tanpa lo suruh pun gue udah ngerti." Dirga menatap Alvino sebentar. "Sebenarnya gue bingung ada masalah apa diantara kalian. Tapi gue harap lo sama Alda bisa menyelesaikan masalah tanpa harus ngebesarin rasa gengsi," sambung Dirga.
"Alda udah berusaha buat minta maaf sama lo. Gak bisa lo maafin dia? Apa persahabatan kalian akan berakhir cuman karena masalah kecil kaya gini? Vin, kalian udah dewasa. Selesaikan masalah kalian dengan baik-baik. Jangan melarikan diri kaya gini. Sikap lo yang begini malah ngebuat dia bingung." Dirga menghela napas panjang melihat Alvino yang hanya diam di tempatnya.
Dirga berbalik badan, berniat meninggalkan Alvino. Namun, baru selangkah ia ingin berjalan keluar dari kamar Alvino, lelaki itu mencekal pergelangan tangannya.
"Apa yang harus gue lakuin supaya dia gak ngerasa bingung sama sikap gue?" tanya Alvino.
"Ungkapin perasaan lo. Jangan jadi pengecut yang berkata semuanya akan baik-baik aja. Padahal pada kenyataannya lo takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti akan terjadi." Dirga melepaskan cekalan Alvino pada pergelangan tangannya, lalu pergi dari kamar lelaki itu.
Alvino menatap kepergian Dirga. "Kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti terjadi? Apa maksudnya?" gumam Alvino.
Tak ingin terlalu memikirkan ucapan Dirga, Alvino kembali menjatuhkan tubuhnya pada kasur. Dilihatnya sekilas ponsel yang sedari tadi berdering entah sudah yang ke berapa kalinya.
Menghela napas panjang, Alvino menutupi mukanya menggunakan bantal dan berteriak dengan kencang. Percuma saja. Tak ada yang mendengar teriakannya. Alvino melempar bantal itu asal. Rasanya melegakan, tapi juga tetap tak membuatnya kian tenang.
Dengan sedikit ragu, ia membuka lockscreen ponselnya. Terdapat 20 missed call dari Alda dan 5 pesan dari gadis itu.
Isi dari pesan itu tetap sama. Yaitu mempertanyakan alasan dibalik sikapnya terhadap Vin yang tak ramah. Dengan malas, Alvino mengunci kembali ponselnya dan berdiri dari tempat tidur.
Diambilnya sebuah handuk dari lemari. Dengan langkah lunglai, Alvino pun pergi ke kamar mandi dengan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
****
"Dari tadi kamu modar-mandir terus. Kenapa Al?" Pertanyaan yang sedari tadi tak diungkapkan oleh Vin kini terucap dari bibirnya.
Alda menolehkan kepalanya menatap Vin dengan rasa bersalah. "Lo keganggu ya? Maaf. Gue keluar aja deh ya, titip Oma."
Baru ingin menahan Alda, gadis itu sudah pergi terlebih dahulu tanpa sempat mendengarkan penjelasan Vin. Apa Alvino membuat Alda menjadi seperti ini? Jika iya, kenapa rasanya melihat Alda uring-uringan karena Alvino tak membuatnya merasa senang? Justru ia malah khawatir. Vin khawatir Alda akan meninggalkannya.
Menghela napas panjang, Vin membuka layar ponselnya. Walpaper itu tak pernah ia ganti. Walpaper itu tak lain adalah sebuah bingkai foto berisikan dua orang bocah lelaki dan seorang bocah perempuan sedang bermain bersama. Itu adalah dirinya dan juga Alda serta Alvino tentunya.
Foto itu ia dapatkan saat dirinya berulang tahun ke tujuh. Ibunya memberikan foto itu karena melihat Vin yang setiap harinya merenung di kamarnya seorang diri karena merindukan gadis kecil yang membuatnya tersenyum lebar karena tingkahnya yang menyebalkan. Gadis kecil itu tak lain adalah Alda.
"Apa gue pantas buat sayang sama lo, Alda?" gumam Vin sambil memandangi foto itu lama.
"Vin ...." suara lirih itu membuat Vin tersadar dari lamunannya. Ia menolehkan kepalanya menghadap wanita tua yang kini menatapnya dengan senyuman kecil.
"Iya, Oma? Butuh sesuatu?" tanya Vin.
Oma mencoba untuk duduk dengan dibantu oleh Vin. "Alda lagi keluar, Oma haus? Atau Oma lapar?"
"Enggak. Oma gak haus atau lapar. Oma ... mau pulang. Oma gak betah terus-terusan di rumah sakit."
"Sabar ya, Oma. Dokter bilang, sebentar lagi Oma boleh pulang. Oma harus benar-benar sehat. Oke?"
"Oma kasihan Alda yang setiap harinya ngurus Oma. Dia juga perlu sekolah. Kalau terus-terusan jagain Oma, dia pasti akan ketinggalan pelajaran."
"Vin akan coba buat ngobrol sama dia ya, Oma. Oma gak perlu khawatir, Vin akan coba untuk ngebuat Alda ngerti."
"Makasih ya, Nak Vin."
"Gak perlu bilang terima kasih, Oma. Vin ngelakuin ini karena keinginan Vin sama kayak Oma. Vin gak mau Alda ketinggalan pelajaran."
"Makasih udah peduli sama Alda ya. Oma gak tau lagi harus minta tolong ke siapa. Lagi pula, kalau pun Alda tetap di sini, Oma tahu dia sebenarnya dia mau cepat-cepat pulang ke Bandung."
Vin terdiam di tempatnya. "Apa karena Alvino, Oma?"
Oma mengangguk. "Dari dulu, Alvino selalu jadi prioritas Alda. Sejauh apapun mereka terpisah, hati mereka tetap dekat."
"Kalau Vin suatu saat menjadi penghalang bagi Alvino dan Alda bersatu, apa Oma bakal kecewa sama Vin?"
"Itu semua tergantung perasaan Alda, Oma gak berhak menentukan perasaan Alda harus jatuh ke siapa. Yang terpenting bagi Oma, Alda bisa bahagia dan gak terluka dengan keputusannya sendiri. Anak itu sudah menderita selama ini, Oma cuma berharap dia gak akan ngelakuin hal bodoh seperti dulu lagi."
"Hal bodoh? Maksud Oma apa?"
"Dia pernah coba buat berhenti ngejalanin hidupnya. Kalau Alvino gak ada di sisi Alda waktu itu, Oma pasti akan kehilangan Alda sekarang."
Vin terpaku di tempatnya. Sebesar itu pengaruh Alvino dihidup Alda? Lalu, apa dirinya akan menyerah sekarang? Entahlah. Setelah mendengar cerita Oma, ia menjadi tak yakin akan perasaanya. Tidak, bukannya ia tipe orang yang mudah menyerah, tetapi perjuangan Alvino lebih besar daripada dirinya, apakah ia akan diterima oleh Alda jikapun ia mengungkapkan perasaan pada gadis itu.
****
Next? Jangan lupa tinggalin jejak sayangqu❤ see u in next part❤ *aku lagi sariawan makanya gak mau ngetik banyak-banyak🤣*
KAMU SEDANG MEMBACA
Davino [End] ✔
Novela Juvenil[Harap Follow terlebih dahulu sebelum membaca] Tq. "Utamakanlah perasaan dari pada persahabatan." Mungkin kalimat itu tak berlaku bagi Alvino Sandi Geraldo. Lelaki yang sudah menjadi sahabat Alda Silfiani Claretta sejak kecil itu memilih untuk memb...