Aku ingin menjadi bintang, karena seberapa keraspun angin bertiup kencang, Bintang terus bersinar terang tanpa merasa terguncang.
****
Hari sudah menjelang sore, sebentar lagi bel pasti berbunyi. Alda masih setia menatap ke depan tanpa terganggu suara-suara berisik yang ditimbulkan oleh teman-teman sekelasnya. Seekor burung merpati yang berpijak di sebuah batang pohon tinggi yang ada di luar membuat Alda mengalihkan pandangan matanya.
Merpati itu sangat cantik. Namun, sebuah luka di sayapnya membuat Alda tersenyum miris. Memang burung yang sangat cantik, akan tetapi juga sangat menyedihkan melihat manusia dengan teganya menyakiti burung tak berdosa seperti itu.
"Alda? Kamu melamun?" Pertanyaan dari seorang guru perempuan itu tak kunjung membuat Alda tersadar.
Teman sekelasnya kini mengalihkan padangan mereka ke meja yang di duduki oleh Ghea dan Alda. Ghea yang melihat Alda masih melamun pun menepuk pelan bahu gadis itu.
"Kenapa, Ghe?"
Ghea memberikan kode kepada Alda mengenai guru perempuan yang kini menatap mereka berdua dengan tatapan tajam.
"Sudah selesai melamunnya, Alda?" Guru perempuan itu adalah guru Fisika. Bu Resi namanya.
"Maaf, Bu." Alda menundukkan kepalanya. Menyesal, mungkin itulah yang sedang dirasakannya sekarang. Pasalnya, ia tak pernah membuat ulah selama ini. Mempertahankan citra baiknya dan tak menjadi anak yang nakal adalah cara satu-satunya agar ia bisa membanggakan orang tuanya di surga. Entah mereka akan melihatnya atau tidak, Alda hanya ingin mereka merasa bangga.
Bu Resi menghela napas panjang. Lalu berkata, "Ibu maafkan karena ini kali pertama kamu melamun di pelajaran Ibu. Jangan kamu ulangi lagi ya, Alda?"
Alda mengangguk. "Baik, Bu."
Setelah Alda menjawab, Bu Resi kembali ke depan kelas. Murid-murid lain yang melihat Bu Resi berjalan menuju ke depan pun saling mengalihkan pandangan mereka. Takut, mungkin?
"Oke anak-anak, jangan lupa minggu depan kita praktek mengenai Hukum Hooke. Alat yang harus kalian bawa hanyalah kertas strimin, penggaris dan alat tulis saja. Silahkan bersiap dahulu lalu kita berdoa untuk pulang."
Murid-murid pun serempak mengangguk dan membereskan buku serta alat tulis mereka. Tak terkecuali Alda. Gadis itu telah memasukkan buku serta alat tulisnya dengan cepat. Dilihatnya teman-teman sekelasnya dengan seksama. Ada beberapa orang yang belum selesai membereskan bukunya.
Beberapa menit kemudian, murid-murid yang lain sudah siap untuk pulang. Tak ingin menunggu terlalu lama, Alda segera berkata dengan lantang. "Sebelum pulang, mari kita membaca doa bersama sesuai dengan keyakinan masing masing. Bedoa dimulai!"
Menundukkan kepala. Itulah yang mereka lakukan setelah Alda berkata seperti itu. Setelah beberapa saat, Alda berkata lagi. "Berdoa dicukupkan."
Mendengar perkataan Alda, murid-murid yang lain pun keluar dari kelas. Alda masih setia di tempatnya duduk. Ghea melirik ke arah Alda yang kini menghela napas sambil menutupi wajah cantiknya.
"Jangan salahin diri lo sendiri, Alda." Ghea menepuk pelan bahu Alda.
Alda menatap Ghea, lalu tersenyum samar. "Gue gak apa-apa kok, serius."
"Kita jadi sahabat bukan sehari dua hari doang. Gue tahu lo sekarang pasti lagi uring-uringan karena Raka, bukan?"
Alda melebarkan matanya mendengar pertanyaan Ghea. "Gimana lo bisa tahu?"
"Gimana bisa gue pura-pura gak tahu?" Bukannya menjawab pertanyaan Alda, Ghea malah membuat Alda semakin bingung.
"Jangan kasih tahu Alvino ya, Ghe. Gue mohon sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Davino [End] ✔
Teen Fiction[Harap Follow terlebih dahulu sebelum membaca] Tq. "Utamakanlah perasaan dari pada persahabatan." Mungkin kalimat itu tak berlaku bagi Alvino Sandi Geraldo. Lelaki yang sudah menjadi sahabat Alda Silfiani Claretta sejak kecil itu memilih untuk memb...