Ketika masalah datang terus menerus kepadaku, aku hanya berharap kamu ada di sisiku dan membuatku tetap bertahan walau seisi dunia ingin menjatuhkan.
_________________________****
Alda kini tengah duduk di taman rumah sakit bersama Alvino, ia memainkan kakinya ke depan dan ke belakang. Bosan. Itulah yang dirasakannya sekarang.
Keduanya sama-sama bungkam, tak ada yang berniat berbicara terlebih dahulu. Alda pun tak ingin memulai pembicaraan. Gengsi. Satu kata itu mungkin akan cocok dengan keadaan mereka sekarang.
"Kalau gak ada yang perlu lo omongin sama gue, mending lo pulang," kata Alda pada akhirnya.
Baru sedetik ia berdiri dan berniat meninggalkan taman, Alvino terlebih dahulu mencekal tangannya. Dengan malas Alda menatap Alvino yang kini juga menatap Alda. "Kenapa?"
"Biarin gue di sini, jangan suruh gue buat pergi," kata Alvino.
Alda menghela napas panjang. "Kenapa sih lo? Sakit?"
Tangan Alda mulai memegang dahi Alvino. Tidak panas. Suhu laki-laki itu normal, lalu mengapa Alvino bersikap seperti ini?
"Vin, lo balik aja deh. Gue gak mau ya gara-gara gue lo bolos sek–" kata-kata Alda terputus karena Alvino lebih dulu memeluknya erat, dapat Alda rasakan hembusan napas Alvino yang tenang di ceruk lehernya.
"Bukannya gue udah pernah bilang ke lo, Al. Lo adalah pusat semesta bagi gue. Gimana gue bisa bertahan di dimensi yang jauh dari lo?" Alvino semakin mengeratkan pelukannya. Alda terdiam di tempat. Sampai akhirnya ia menutup matanya dan membalas pelukan Alvino.
"Maaf." Satu kata itu terlontar begitu saja dari mulut Alda, entah mengapa ia mengucapkan kata keramat itu, padahal ia tak pernah mengucapkan kata itu terlebih dahulu kepada Alvino.
Tanpa terasa air mata Alda ikut turun bersamaan dengan kata maaf yang baru saja ia lontarkan, Alvino yang merasakan bajunya basah pun segera melepaskan pelukannya, diperhatikannya gadis yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya.
"Lo ... nangis?" tanya Alvino kepada Alda, pasalnya sekarang ia tak bisa melihat wajah Alda karena wajah gadis itu tertutupi oleh rambutnya yang panjang.
Tanpa berkata apa-apa, Alda langsung pergi dari taman, ia tak ingin Alvino menjadi khawatir karena ia tiba-tiba menangis seperti ini, dengan terus melangkah menjauhi Alvino Alda mengusap air matanya kasar, sesekali ia menghirup napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
Setelah dirasa tenang, Alda melangkahkan kakinya menuju ruangan Omanya tanpa tahu bahwa sedari tadi Alvino ada di belakang gadis itu dan melihat Alda yang mencoba menenangkan dirinya sendiri, mengapa rasanya sangat menyesakkan hanya karena melihat gadis itu menangis?
"Lo emang tetap cantik walaupun lagi nangis. Tapi gue gak suka lihat lo nangis. Apalagi kalau alasan lo nangis itu karena gue," gumam Alvino saat melihat punggung Alda yang semakin menjauh.
****
Sudah tiga jam berlalu, Alvino masih setia menunggu Alda di luar kamar rawat. Ia ingin masuk tetapi takut menganggu Alda, jadi ia memutuskan untuk menunggu gadis itu dari luar saja.
Baru sedetik Alvino berdiri dan ingin pergi dari rumah sakit, seorang lelaki dengan santai berjalan melewati Alvino dan masuk ke dalam ruang rawat.
Dengan penasaran, Alvino pun ikut masuk ke dalam ruang rawat. Alda kini sedang berbincang dengan lelaki itu dan entah kenapa itu membuat hati Alvino berdenyut sakit.
Alda dengan lelaki itu masih berbincang, sampai akhirnya mata Alda dan Alvino tak sengaja beradu pandang, dengan senyuman manisnya gadis itu menarik Alvino agar mendekat ke arah lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Davino [End] ✔
Teen Fiction[Harap Follow terlebih dahulu sebelum membaca] Tq. "Utamakanlah perasaan dari pada persahabatan." Mungkin kalimat itu tak berlaku bagi Alvino Sandi Geraldo. Lelaki yang sudah menjadi sahabat Alda Silfiani Claretta sejak kecil itu memilih untuk memb...