Jika kamu sendiri tidak yakin akan perasaanmu, maka kamu juga tak akan yakin dengan pilihanmu.
****
Alda kini berada di sebuah danau bersama Vin. Lelaki itu mengajak dirinya dan juga Bagas untuk menghirup udara segar. Padahal, Alda tak bicara apapun kepada lelaki itu setelah seharian ini larut dalam pikirannya sendiri.
Menghela napas panjang, Alda menatap danau ini dengan lamat. Indah, sunyi dan menenangkan. Seharusnya itulah yang ia rasakan. Tetapi perasaanya malah gelisah. Seakan-akan ada sesuatu yang salah.
"Alda?" Suara panggilan itu membuat Alda mau tak mau sadar dari lamunannya, ditatapnya kini Bagas dan Vin yang membawa sebuah jagung bakar entah untuk siapa.
"Kenapa?" tanya Alda.
Bagas tersenyum manis. Lalu memberikan sebuah jagung bakar yang dipegangnya sedari tadi. "Ini buat Kakak. Dari kemarin Bagas lihat, Kak Alda murung terus. Makan juga sedikit. Jadi Bagas mohon, Kak Alda makan ya? Demi aku."
Alda menerima jagung bakar itu, ia menatap Bagas dengan sayang. Gadis itu bergantian menatap Vin seakan mengucapkan terima kasih. Vin pun mengerti. Ia merangkul Alda di depan Bagas, Adiknya itu mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali.
"Kenapa cemberut gitu, hm?" tanya Alda.
"Bang Vin, lepasin Kak Alda. Abang gak boleh sentuh Kak Alda. Yang boleh sentuh cuman Bagas doang sama Bang Vino."
Mendengar itu, Alda terdiam di tempatnya. Pandangannya seketika kosong. Pikirannya melayang ke masa di mana Alvino dan Alda bersama. Bagas yang melihat perubahan raut wajah Kakaknya itupun bingung. "Kakak kenapa?"
Vin mencoba untuk tenang. Ia menatap Bagas. Lalu tersenyum ke arah bocah lelaki itu. "Kakak kamu ini, lagi pusing buat ulangan kenaikan kelas. Jadi dia kurang fokus gitu kalau diajak bicara. Ya kan, Al?"
Alda tersadar ketika rangkulan di bahunya menguat. Ditatapnya wajah Vin yang ada di sampingnya. Vin menyuruh Alda mengatakan sesuatu kepada Bagas. Itulah yang Alda tangkap dari gerakan tubuh Vin.
"Kita duduk di situ yuk!" ajak Alda sambil menarik tangan Bagas dan melepaskan pelukan Vin dari tubuhnya.
Bagas dan Alda sudah ada di pinggiran danau. Mereka duduk di bawah beralaskan pasir karena tak ada tempat duduk di sana. Bagas menatap Alda yang memeluknya. "Kakak ada masalah ya sama Bang Vino?"
"Enggak. Cuman perasaan kamu aja kali. Kakak sama Bang Vino baik-baik aja, kok."
"Kakak bohong. Tapi, Bagas gak akan maksa Kakak buat cerita. Bagas tahu setiap orang pasti punya rahasia. Kalau Kak Alda udah gak bisa tahan semuanya, ceritain aja masalah Kakak ke Bagas, ya?"
Alda menghela napas panjang. "Kakak gak mau nanti kamu malah kepikiran, Gas."
"Bagas gak mau terus-terusan ngerasa gak berguna sebagai Adik, Kak. Bukannya keluarga itu tempat berkeluh kesah? Tapi selama ini, Kakak gak pernah cerita apa pun sama aku. Hal itu ngebuat aku ngerasa gak berguna buat Kakak. Bahkan saat Mama dan Papa meninggal pun–" perkataan Bagas terpotong karena Alda memeluknya begitu erat.
"Maaf. Kakak selama ini cuma gak mau kamu memikirkan masalah Kakak. Sebenarnya dari dulu Kakak mau ceritain semuanya sama kamu. Tapi Kakak sadar, kamu masih kecil. Kamu gak boleh terbebani sama masalah Kakak. Maafin Kakak ya, Gas?" Alda menahan isakannya. Sungguh ia tak bermaksud menyembunyikan masalahnya. Tetapi karena Bagas terlalu muda, hal itu membuat Alda bimbang untuk mengungkapkan masalahnya.
"Kakak ... jangan nangis. Bagas gak suka lihatnya." Bagas menepuk bahu Alda yang memeluknya.
Alda tersenyum dalam pelukannya. "Kok kamu tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Davino [End] ✔
Novela Juvenil[Harap Follow terlebih dahulu sebelum membaca] Tq. "Utamakanlah perasaan dari pada persahabatan." Mungkin kalimat itu tak berlaku bagi Alvino Sandi Geraldo. Lelaki yang sudah menjadi sahabat Alda Silfiani Claretta sejak kecil itu memilih untuk memb...