•Bab 37

32 13 0
                                    


Aku langsung mengejar Anisa yang tiba-tiba lari itu. Begitu juga dibelakangku Rafka, Lira, Rahmi, Hana, dan Via. Tapi tunggu, entah kenapa aku merasa Azka juga ada dibelakangku.

"Anisa tunggu.. " teriaku berharap Anisa berhenti dan mau mendengar penjelasanku.

"Anisaa! " sentakku saat tangan Anisa sudah berhasil aku raih.

Anisa masih membelakangiku. Perlahan aku balikan badannya, dan aku lihat dia sudah berlinang air mata.

Aku langsung memeluknya. Sangat erat seakan takut ia kembali lari lagi. Anisa diam, tidak membalas maupun menolak pelukanku.

Sekitar dua menit aku memeluknya, aku melepaskannya,dan menatap mata Anisa dengan penuh harap.

"Dengerin gue dulu Anisa.. " lirihku yang entah kenapa air mata juga ikut mengalir membuat aliran sungai di kedua pipiku.

"Apa lagi yang harus gue denger? Gue harus denger kalau lo suka sama Rafka, dan Rafka suka sama lo, kalian sama-sama suka dan kalian pacaran? Gue udah tahu! " potong Anisa dengan nafas yang menggebu-gebu.

"Anisa! " teriak Rafka dengan nada tegasnya. "Lo harusnya sadar.. Kalau gue ga suka sama lo.. Tolong ikhlas Nisa.. Mau sampai kapan lo kayak gini? "

"Harus sesadar apa lagi gue Ka? Hah? Gue udah terlalau sadar buat terima kenyataan ini.. Kenapa semua yang gue punya selalu direbut oleh orang lain? Dulu Veve yang rebut lo dari gue. Dan sekarang bitch ini. " kata Anisa sambil menunjuk ke arahku.

Baik Lira, Via, Rahmi, maupun Hana sama-sama terdiam. Kenapa mereka tidak membantuku? Apalagi Azka. Dia hanya memperhatikan semua ini seakan yang di depan matanya saat ini adalah pertunjukkan drama.

"Fasya, udah, orang kayak dia ga pantes dapet permintaan maaf dari lo. " kata Rafka.

"Tapi dia sahabat gue Ka.. "

"Lo pilih sahabat apa gue pacar lo? " tanya Rafka dengan berteriak disertai nada bentakan.

Aku sudah tak tahu, berapa liter air mata yang telah aku habiskan untuk hari ini. Mata sembab karena menahan kantuk, ditambah karena menangis. Aku lelah. Lelah menghadapi kenyataan yang jauh dari kata manis. Jauh dari kata bahagia. Atau aku yang kurang bersyukur?

"Kenapa? Lo ga bisa jawab? Pastinya lo milih dia ketimbang gue sahabat lo, " kata Anisa dengan nada sarkastis.

Dilema. Aku dilema. Kenapa aku dihadapkan dengan pilihan seperti ini? Memilih Anisa sahabatku. Atau Rafka pacarku. Pacar? Bahkan aku belum menyetujuinya. Ya allah ampuni dosa Fasya.

Aku pandangi Anisa dan Rafka bergantian. Harusnya aku bisa dengan mudah memilih Anisa. Tapi kenapa rasanya mulutku sangat kelu sekedar untuk berkata 'Aku lebih memilih Anisa.'

"Lo lebih prioritasin dia dan ngorbanin persahabatan kita? Gue fikir lo ga seegois itu untuk lebih memilih Rafka," kata Anisa.

Aku lihat keempat sahabatku bergantian. Dan mereka membuang muka? Apa mereka juga marah padaku?

"Kita ga keberatan untuk ngurangin satu orang dari persahab-"

"GUE LEBIH MILIH KALIAAN! " teriakku memotong perkataan Anisa.

"Gue ga bisa kehilangan kalian... Gue ga bisa kehilangan Anisa.. Gue ga mau... Jangan marah lagi sama gue.. Please.. Gue mohooon.. "

"Fasya.. Fasya... "

"Gue mohon maafin gue.. Gue janji akan jauh jauh dari Rafka.. Please.. Maafin gue.. "

Plak..

****

Anisa's Pov

Semua sudah bangun dari tidurnya, begitupun aku. Hana, Via, Rahmi, dan Lira sedang ke sungai untuk mandi. Sedangkan aku harus kembali lagi ke tenda karena sabun mandi yang tertinggal.

Aku lihat Fasya yang masih enak tertidur. Aku melihatnya, sungguh aku tidak tega mendiamkannya seperti ini. Aku rindu bercanda dengan Fasya. Jujur aku sangat sayang dengan Fasya sebagaimana aku menyayangi saudaraku sendiri. Namun egoku tetaplah ego.

Aku meraih tas ranselku dan mengambil perengkapan mandi.

Baru saja aku ingin keluar tenda,tiba-tiba suara Fasya menghentikan langkahku.

"GUE LEBIH MILIH KALIAN. "

Apa maksud Fasya? Aku masih diposisiku membelakangi Fasya. Apa maksudnya lebih memilih kalian?

Aku membalikkan badanku. Dan ternyata Fasya mengigau.

Aku pun kembali melangkah keluar tenda. Namun lagi-lagi Fasya meracau tidak jelas.

"Gue ga bisa kehilangan kalian... Gue ga bisa kehilangan Anisa.. Gue ga mau... Jangan marah lagi sama gue.. Please.. Gue mohooon.. "

Anisa mengernyitkan keningnya hingga tampaklah kerutan-kerutan dikeningnya.

"Fasya mimpi apa sih? " gumamku.

Aku kembali mendekat ke arah Fasya. Keringat dingin telah banyak membasahi keningnya. Mimpi apa Fasya sebenarnya? Apa yang kehilangan? Maksudnya tidak bisa kehilanganku? Dan jangan marah-marah? Apa mungkin Aina mimpi aku? Segitu sedihnya kah Fasya karena aku diami seperti ini,sampai-sampai permasalahan di dunia nyata terbawa hingga ke alam mimpi.

"Fasya... Fasya... " kataku berusaha membangunkannya. Entah kenapa aku merasa sangat kasihan dengan Fasya. Aku sendiri tidak tega melihatnya. Segitu jahatnya aku? Sahabat macam apa?

"Gue mohon maafin gue.. Gue janji bakal jauh jauh dari Rafka..please..  Maafin gue.. "

Fasya terus saja meracau tidak jelas. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara membangunkannya. Sudah kupanggil-panggil namanya, ku goyangkan bahunya, ku tepuk-tepuk pipinya. Namun Fasya sama sekali tidak membuka matanya dan terus menerus meracau tidak jelas.

Tidal ada cara lain. Hanya ini cara satu-satunya. Masfkan aku Fasya.

Plak!!!

Dan berhasil. Fasya bangun, dengan wajah kantuk, bercampur dengan wajah meringis kesakitan sambil tangan mengelus pipi kirinya yang tadi aku tampar. Memang lumayan keras. Aku sendiri meringis melihatnya.

"ANISAAAA" teriak Fasya dan langsung memelukku erat.

"Ternyata cuma mimpi.. " katanya lagi.

"Lepas,gue mau mandi, " kataku ketus dan langsung pergi meninggalkan Fasya yang masih terduduk di dalam tenda.

Tidak tahu kenapa, aku sendiri bingung. Tentunya aku masih marah. Entah sampai kapan aku akan mempertahankan ego ku ini.

Anisa's Pov End

****

"Untung cuma mimpi.. Gue kira itu asli.. " gumam Fasya mengelus-elus dadanya dwngan wajah lega.

Tangannya meraba-raba mencari benda pipih warna putih kesayangannya.

"Gila... Gue kesiangan.. Udah jam sembilan.. " teriak Fasya histeris dan langsung bersiap-siap untuk mandi.

Cinta Dipenghujung Masa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang