SPELEN

203 37 22
                                    

Berdebat dengan Dinko masalah mimpinya itu tidak akan ada habisnya. Feli memilih meninggalkan Dinko yang bergeming di kamarnya.

Sore itu, Feli izin pada Mamanya untuk pergi main ke rumah Teta. Dengan pakaian simple, baju berwarna peach lengan pendek dan celana cokelat selutut serta rambut lurusnya yang dibiarkan tergerai, tak lupa ia sematkan jepitan kecil yang berwarna senada dengan baju yang ia kenakan, dan itu membuatnya kian manis.

Sore ini, dia akan pergi menggunakan sepeda warna pink-nya. Rumah Teta tidak terlalu jauh, lagi pula dia sudah lama tidak bermain sepeda.

Saat Feli sudah berada di depan halaman rumah dengan sepeda yang ia tuntun keluar, sebuah motor berhenti tepat di sebelahnya.

Feli menoleh dan mendapati Elgi sedang cengengesan. "Mau ke mana, Fel?"

"Gue mau ke rumah Teta." Feli memandangi Elgi dari ujung kaki hingga kembali ke wajah laki-laki itu. "Lo abis dari mana? Kucel banget ih," lanjutnya.

"Gue balik dari rumah Andra, tadi sempat ketiduran, hehe ...." ujarnya sambil cengengesan lagi. "Lo nggak mau dianterin gue aja?"

"Ogah, lo lagi jelek gitu terus mau boncengin gue yang udah semriwing begini? Big no," ujar Feli bercanda dengan raut wajah meledek.

"Yeu... ditawarin malah ngatain. Makasih," balas Elgi ketus.

Feli tergelak. "Haha, canda ya, jangan baperan gitu, ah. Cowok bukan?"

"Ck. Bodo, ah! Tau gini gue mending nggak berhenti tadi." Elgi pura-pura merajuk.

"Gue pake sepeda gue aja, udah lama juga nggak main sepeda." Feli memandang sebentar pada sepedanya kemudian melihat ke arah Elgi lagi. "Mau di sini sampai kapan?"

Elgi menatap malas. "Sumpah ya, lo!"

"Apa?" tanya Feli datar dengan wajah menyebalkan.

Elgi menyalakan motornya kemudian meninggalkan Feli tanpa berkata-kata lagi.

Feli kembali tertawa karena melihat wajah Elgi yang kesal sendiri. "Dasar, cewek!" ledeknya. Ia mengatur napas dan menaiki sepedanya.

Baru saja ia hendak meninggalkan halaman rumahnya saat tiba-tiba tangan mungil memeluk pinggangnya dari belakang. Feli menoleh dan mendapati Bocis nyengir ke arahnya. "Bocis ikut, ya?"

"Hadeh," keluh Feli sambil menepuk jidatnya pelan. "Percuma juga gue larang, nggak bakal nurut."

Bocis tertawa nyaring. Feli mulai mengayuh sepedanya meninggalkan halaman.

***

Feli berhenti di halaman rumah Teta, kemudian melihat ke arah belakang boncengan sepedanya. Bocis tidak ada di sana.

Dasar setan.

Feli kemudian turun dan menyandarkan sepedanya di bawah pohon akasia.

Rumah Teta terlihat seperti tidak ada orang. "Ke mana, ya?" gumamnya.

Feli melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Ia mengetuk pintu tersebut. Tidak ada jawaban.

Dengan rumah yang berbahan dasar kayu jati dan pintu kayu besar dengan warna natural sebagai pintu utamanya, dapat disimpulkan bahwa rumah itu adalah rumah tradisional namun memiliki ketertarikan tersendiri.

Feli kembali mengetuk. Tak ada jawaban lagi.

Ada yang menepuk pundaknya pelan beberapa kali, Feli berbalik dan mendapati wanita dengan sebelah wajah yang sudah hancur. Darah menetes dari wajah hancur itu dan matanya merah gelap. Rambut panjang menutup sebagian wajah lagi. Tangan hampir tanpa daging, layaknya tulang yang hanya terbungkus kulit pucat dan kering. Bocis berada disamping perempuan itu.

DE WRAAK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang