VECHTEN

99 13 0
                                    

Feli menyentak pintu kamarnya sehingga menimbulkan suara dentuman lumayan keras. Tentu tidak akan bisa dengan mudah ia lupakan perkataan Andra yang mengatakan ia merasa terganggu dengan kemampuan Felisya yang bisa "melihat" yang tidak bisa manusia normal lihat.

"Hampir delapan belas tahun ...." gumam Feli.

Gadis berambut lurus sepinggang yang sedang acak-acakan itu mondar-mandir di kamarnya, dengan sesekali memijat pangkal hidung. Semakin ia membisu, suara sahabatnya kembali terngiang lebih keras dipikirannya.

Feli mengacak-acak selimut yang awalnya terlipat rapi di atas tempat tidur, menariknya dengan kedua tangan, mengerahkan seluruh tenaga untuk menghempaskan benda itu sekeras yang ia bisa, seraya berteriak menyuarakan kekecewaannya. "Aaargh!!!"

Selimut over size itu terhempas menubruk tembok sebelum menghantam lantai yang dingin.

Kacau.

Kacaunya kamar gadis itu tidak seberapa dari kekacauan pikirannya.

Feli keluar menuju balkon, memegang besi pembatas, dan menggenggamnya erat sampai buku-buku jarinya memerah.

"HAMPIR DELAPAN BELAS TAHUN LO JADI SAHABAT GUE ANDRA! KENAPA BARU SEKARANG LO MERASA RISIH?! KENAPA BARU SEKARANG LO MERASA NGGAK NYAMAN?! DARI DULU LO PUNYA BANYAK WAKTU BUAT NINGGALIN GUE!!! LO—hiks—AAARGH!!!"

Rasanya berteriak menghadap jalan raya yang searah dengan rumah Andra tetap tidak membantu.

Tenggorokan Feli seperti tercekat sesuatu yang menahan suaranya agar tidak keluar lagi. Ia menelan kenyataan pahit, rasa sakit yang diciptakan sahabat sendiri jauh lebih menyayat hati dari pada orang yang memiliki hubungan rentan.

Isak tangis gadis itu semakin menjadi. Lututnya tidak sanggup lagi menopang tubuh semampainya, tangannya lemas dan tubuhnya lunglai. Tersungkur dan terduduk di lantai dengan keadaan kacau diselimuti rasa kecewa.

"Cengeng." Ledekan tiba-tiba dari mulut Dinko membuat gadis itu menoleh.

Mata sembab milik Feli menatap sinis, keadaannya kacau, rambut yang urak-urakan serta raut sedih dan rasa kecewa yang gadis itu rasakan hampir saja membuat pangeran dari bangsa jin di hadapannya itu berlutut dan menghilangkan gengsinya untuk menghibur kemudian mendekap gadis rapuh itu. Untungnya, Dinko masih bisa mengontrol diri. Pangeran jin yang mengenakan pakaian kasual khas manusia itu seketika berbalik arah, dari balkon menuju ranjang sahabat kecilnya.

"Sini cepet!" titah Dinko.

Feli mengusap sisa air matanya sebelum membuang wajah ke arah berlawanan. "Hiks, nggak mau," bantahnya lemah.

Feli baru saja menyenderkan kepalanya pada pagar pembatas balkon, saat tubuhnya tiba-tiba melayang di udara dengan topangan tangan kekar di lekukan lutut dan ketiaknya.

Tidak perlu terkejut atau meronta, tanpa gadis itu mengangkat pandangan pun dia tahu pelakunya adalah Dinko. Feli memejamkan mata, namun tangannya bergerak memeluk leher jenjang milik Dinko, kemudian menenggelamkan wajahnya ke dada bidang yang ada di hadapannya. Gadis itu menghirup O2 bercampur bau badan Dinko yang entah kenapa terasa... menenangkan.

Tidak apa sesekali terlihat rapuh, karena nyatanya manusia memang makhluk lemah, yang membuatnya terlihat kuat hanya gengsi.

Meskipun pangeran dari bangsa gaib itu telah mendudukkan bokongnya di ranjang, ia belum menurunkan Feli dari pangkuannya.

Dinko memasang raut wajah jengah. "Turun," ujarnya.

Feli menggeleng. "Hiks, nggak mau."

Dinko merotasikan kedua bola matanya. "Terus mau lo apa?"

DE WRAAK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang