Suasana tidak enak memenuhi atmosfer ruang kamar yang dikhususkan untuk pangeran itu. Tiga pasang mata dari tadi hanya saling melirik, kemudian membuang pandangan masing-masing ke arah random.
Dinko, Feli, dan Radit masih membeku dengan jarak yang lumayan jauh karena ruangan yang sangat besar.
Sepulangnya mereka ke Istana Paleis dari tengah hutan tadi, Feli menyadari ada sesuatu yang terjadi diantara Radit dan Dinko. Gadis itu semakin yakin karena beberapa kali menangkap pandang kalau mereka sedang saling menatap dengan tatapan tajam. Yang ia tahu, tidak terjadi sesuatu yang aneh atau mencurigakan tadi. Tapi, kenapa bisa mereka terjebak dalam kecanggungan seperti ini sekarang? Percayalah, tak ada satu pun situasi canggung yang enak.
Jengah, akhirnya Feli berseru, "Haduh, kalian ini kenapa, sih?! Kagak capek apa, dari tadi pada mingkem?"
1... 2... tak ada suara apa pun yang terdengar oleh indera pendengaran Feli.
Felisya, gadis manis dengan bulu mata lentik dan rambut lurus sepunggung itu tak bisa disandingkan dengan kata "sepi". Ia akan melakukan berbagai macam cara untuk membuat suasana di sekitarnya riuh, tak perduli resiko dari perilaku aneh yang ia ciptakan.
Feli menyeringai samar sebelum berkata, "Oke, terserah kalian kalau nggak mau ngomong. Diem-dieman aja di sini sampe patung liberty turunin tangannya."
Gadis itu keluar dari kamar sang Balder, diikuti dengan dua pasang mata yang menatap punggungnya lekat hingga pintu kembali ditutup dengan hantaman keras karena hempasan tangan Feli.
Setelah pintu tertutup, mereka kembali berpandangan. Radit menghela napas pelan kemudian berdesis dingin, "Gue nggak akan mengalah." Lelaki jangkung itu pun melangkahkan kakinya keluar, berniat untuk menyusul gadis manusia yang sok tahu arah kakinya melangkah.
Dinko menatap pintu kosong yang telah tertutup, kemudian memukul-mukul dada bidang miliknya.
●●●
"Lo tuh, anaknya jarang masuk rumah sakit. Giliran sakit, langsung bikin semua orang panik begini! Lagian lo ngapain sih, sampe bisa pingsan?" tanya Andra pada raga Feli yang terbaring di depannya.
Andra yang melihat belum ada jawaban, hanya bisa mendenguskan napasnya kasar. Tangannya yang tadinya terlipat di tepi ranjang, kini beralih membenarkan posisi selimut sahabat sedari kecilnya itu.
Masih dengan menatapnya lekat, lelaki dengan kaus oblong berwarna putih polos itu melayangkan pikiran tentang alasan Felisya bisa pingsan.Telunjuknya menusuk-nusuk pelan punggung tangan Feli, dengan tangan yang satunya menopang rahang tegasnya.
Siang itu, Veni meninggalkan mereka berdua karena ia harus memenuhi kebutuhan perutnya di kantin rumah sakit. Sedangkan teman-teman Andra tidak lama telah mengabarinya kalau mereka sedang berada di jalan menuju ke sana.
Suara pintu dibuka membuat lelaki berambut pirang itu menoleh, netranya mendapati Veni dengan membawa plastik putih yang berisi air mineral botol dan beberapa bungkus roti di dalamnya.
"Kamu makan rotinya dulu, Ndra. Kamu capek dari pagi jagain Feli, sekarang giliran Tante yang nemenin dia," ujar Veni sembari meletakkan bingkisan itu di sofa yang ada di dalam ruangan.
"Nggak perlu dibawain kali, Tan, Andra nggak laper," ujar Andra dengan masih menatap wajah pucat Feli.
Fel, Mama lo bawa banyak makanan, bangun dong... nggak ada yang rakus kalau lo tidur mulu, batin Andra miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
DE WRAAK [END]
Mystery / ThrillerFelisya Samantha, biasa dipanggil Feli. Perempuan ini memiliki Six Sense atau indra keenam. Sejak dia kecil, dia sudah bisa melihat dan merasakan kehadiran makhluk dari dunia lain yang tidak bisa dideteksi oleh manusia pada umumnya. Dia memiliki leb...