VERDUIDELIJKING

84 13 0
                                    

"Hah... hah..."

Feli ngos-ngosan kelelahan karena menghindari kejaran satpam sekolah. Sekarang gadis manis itu sedang rebahan di ranjangnya, berusaha menormalkan saluran pernapasannya yang sempat terpacu terlalu cepat.

Saat gadis itu bingung mau bolos ke mana, Bocis memberi tahu kalau di rumah tidak ada orang karena Veni sedang ke pasar, jadilah ia berani pulang dan mengunci pintu kamarnya dari dalam agar tidak ada yang tahu kalau hari ini ia bolos sekolah karena alasan tidak penting.

Bocis duduk memerhatikan Feli dari jendela kamar gadis itu. "Peli capek? Lagian kenapa Peli lali? Padahal satpamnya nggak ngejal," ujarnya.

"Mana gue tau, Bocis. Namanya juga panik," pungkas Feli.

Bocis tertawa geli, sebelah tangannya menutup bibirnya agar tawanya tidak keluar dengan keras. Feli yang melirik dari sudut mata merasa gemas karena tingkah setan cilik itu, sayangnya tidak berlangsung lama, karena ia ingat bahwa Bocis sudah berusia hampir 6 abad. Dia kakek-kakek Feli, jangan tertipu, ini cuma ilusi.

Seketika senyum Bocis menguap, berubah menjadi mimik sedih karena mendengar penuturan batin Feli yang mengatakannya kakek-kakek.

Feli bertanya, "Cis, Dinko mana?"

"Cieee, Peli kangen ya sama Baldel?" Bukannya Feli mendapat jawaban dari apa yang ditanyakan, bocah itu malah mengejeknya.

"Apaan sih, nggak tuh!" elaknya Feli. "Mana dia? Gue mau ngomongin sesuatu."

"Bocis mau balik ke Istana deh, demi Peli. Mau panggilin Baldel bial lindunya telobati, hihi..." Setelah mengatakan itu, Bocis menghilang, berubah menjadi kepulan asap lalu tak menyisakan jejak.

"Bocah bisa banget," gumam Feli. Gadis itu kepikiran ucapan Bocis, masa iya gue kangen?

"Ekhem!" Deheman kecil dari sosok pangeran dari bangsa Jin yang tiba-tiba berbisik di dekat telinganya membuat Feli kaget bukan main.

Felisya hendak berbalik menghindar namun kakinya malah menyilang dan membuatnya tergelincir. "Aaaaa!"
Ia memejamkan mata, bersiap-siap untuk menahan rasa sakit yang akan menyerang tubuhnya karena harus menghantam lantai.

BRUK!

"AW!!!" pekik Feli. Matanya melirik tajam ke arah Dinko. "Lo kenapa nggak sediain tangan lo buat nahan tubuh gue?!"

Tidak tersirat ekspresi apa pun dalam raut wajah Dinko. "Berharap banget, ya?"

"Ihh! Setan nyebelin." Feli kesal sendiri melihat wajah datar Dinko.
Gadis itu menekuk tangannya, meneliti rona merah pada sikunya yang terasa lumayan nyeri, karena bagian itu yang lebih dulu menghantam dan menumpu pada dinginnya lantai.

"Ayo, bangun. Lo Feli bukan, sih?" ujar Dinko lembut sembari memegang kedua lengan Feli—berupaya membantu gadis itu agar berdiri. "Cepet banget ngeluh, cengeng. Setau gue, dulu Felisya Samantha itu tangguh."

Feli sudah berdiri tegak dengan Dinko beberapa senti di depannya yang masih setia memegang lengannya. Pandangan mereka terkunci satu sama lain.

Kenapa jadi gini, dah? "Heh, lo kenapa? Nggak usah sok manis deh," tegur Feli sewot, entah kenapa ia sendiri merasa ada yang beda pada sahabat beda dimensinya itu, dan perbedaan itu justru membuatnya risih.

Dinko menggenggam sebelah tangan Feli, menuntunnya agar duduk manis di ranjangnya. "Duduk dulu deh, ngomel mulu perasaan."

"Gimana gue nggak ngomel?! Lo yang ngagetin gue," bela Feli.

DE WRAAK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang