TOESTEMMING

125 17 2
                                    

Langit sore sudah didominasi oleh warna gelap malam yang hendak menjalani tugasnya untuk menggantikan tugas siang. Manusia-manusia di jalanan bergegas pulang untuk menghentikan kegiatan hari panjang mereka, lalu memanfaatkan waktu menjelang malam untuk mengistirahatkan tubuh yang lelah lunglai karena dipaksa bekerja seharian.

Setelah mengakhiri diskusi singkat tadi siang, Feli dan teman-temannya memilih pulang dan melanjutkan pembicaraan berat mereka di hari esok. Namun, mereka tidak pulang ke rumah masing-masing.

Teta si gadis kaca mata yang menyukai seni memilih untuk menginap di rumah Feli—sekalian membahas beberapa hal terkait diskusi tadi siang. Sedangkan Raditya, manusia yang bertransformasi dari makhluk dimensi lain menjadi manusia seutuhnya itu memutuskan untuk tinggal di rumah Andra, selain karena alasan menginap yang sama dengan Teta, mereka juga satu jenis—laki-laki. Jadi, tidak perlu khawatir kalau akan ada tetangga yang membicarakan Radit dan Feli yang berbeda jenis tapi tinggal serumah. Arga pun ikut menginap di rumah sahabat rambut pirangnya karena dipaksa untuk menemaninya berbicara pada Lesta—mamanya Andra—mengenai perjalanan mereka yang akan menembus dimensi lain untuk pertama kalinya nanti.

●●●

"Fel, biasanya kalo lo pengen Dinko dateng, lo ngapain?" tanya Teta yang duduk di tepi ranjang, memperhatikan Feli yang sedang menyisir rambut di depan cermin.

"Nggak ngapa-ngapain. Gue baru mikir aja dia udah tau, nggak perlu ngomong." Feli meletakkan sisirnya kemudian memainkan rambutnya.

"Keren Si Dinko. Berarti, manusia yang bisa baca pikiran orang lain itu, setengah setan, ya?"

Feli membalik badan. "Cenayang maksud lo?"

Teta mengangguk.

Feli mengerutkan alisnya, kemudian melanjutkan. "Menurut gue sih, ya, orang-orang itu memahami respon lawan bicaranya, bukan benar-benar bisa membaca pikiran. Ini jelas dua hal yang berbeda. Memahami respon itu kayak ... lo bisa membaca gerak-gerik lawan bicara lo, lo ngerti mereka sedang gelisah, sedih, nggak pura-pura bahagia, atau dia sedang menyembunyikan sesuatu atau tidak hanya dengan mempelajari respon apa yang lawan bicara lo berikan, bisa berbentuk mimik wajah atau bahasa tubuh. Bukan membaca pikiran kayak menerjemahkan per katanya. Ngerti nggak?"

Teta mengangguk ragu dengan kerutan di dahinya. Feli tahu sahabatnya mengerti, tapi belum paham.

"Misal nih, Ta. Lo mikir gini, 'ih apaan si, gue nggak suka sama cara Feli ngomong', terus apa yang ditangkap mata gue itu lo senyum tapi nggak ngomong. Gue bisa ngerasa lo nggak suka itu karena senyum itu banyak jenisnya, dan bagi pengamat ekspresi atau tingkah laku yang memiliki sensitivitas di atas rata-rata kayak gue, gue akan dengan mudahnya bisa tau kalo lo nggak suka, tapi ... gue nggak menerjemahkan ke dalam otak persis seperti yang lo pikirkan sekalian dengan titik komanya, nggak, gue cuma tau poinnya kalo lo nggak suka, gitu. Paham?"

Teta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, iya. Paham. Tapi Fel, kenapa masih banyak orang yang percaya sama cenayang? Kayak ... eksistensi cenayang itu nggak menurun meskipun nggak sedikit orang yang sudah membuktikan kemampuan palsu mereka?"

"Nah, kalo ini beda kasus. Hal yang lo bicarain ini lebih ke anggapan personal terhadap kasus yang sama, tapi dengan penyerapan yang berbeda. Menurut survei US Gallup, lebih dari seperempat jumlah populasi percaya bahwa adanya kekuatan supernatural—cenayang ini masuk ke kategori ini, dong?" tanya Feli retoris. "Beberapa penelitian membuktikan kalo pola pikir itu berpengaruh besar terhadap kepercayaan seseorang, dan hasil risetnya membuktikan bahwa orang-orang yang percaya kekuatan supernatural ini adalah orang-orang yang berpikir kurang analitis atau mereka cenderung gagal menimbang informasi secara kritis." Feli memberi jeda.

DE WRAAK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang