MAAK EEN WANDELING

114 18 0
                                    

"Abis ini, temenin gue ke Indoapril depan butik Margo sebentar, ya?" pinta Andra pada perempuan yang sedang memakai helm di sampingnya.

Gadis yang mengenakan sweater maroon itu hanya tersenyum kecil dan mengangguk.

Andra menggaruk tengkuknya. "Lo nggak mau nanya, kita ngapain ke sana?"

Teta hanya menahan senyumnya, lalu mengulangi ucapan Andra, "Kita ngapain ke sana?"

Kini giliran Andra yang terkekeh. "Mau beliin Mama beberapa camilan, persediaan di rumah udah hampir habis," terangnya.

"Mama lo doyan ngemil ternyata," balas Teta.

"Ayo naik, keburu larut malam." Andra mempersilakan Teta menaiki motornya setelah dia duduk dan menyalakan kendaraan itu.

Teta hanya menuruti apa yang laki-laki itu perintahkan. Entah kenapa, rasanya sangat berat jika harus menolak penawaran-penawaran Andra padanya. Seperti sekarang ini, mereka berada di depan rumah Elgi dan bersiap pulang setelah Andra menawarkan diri untuk menemaninya mengambil buku catatan di rumah Elgi. Baik banget. Udah rela antar-jemput malam-malam, cuma buat nemenin gue ngambil buku catatan, batin Teta.

Andra melajukan motornya menembus jalan raya yang hampir sepi karena waktu yang menuntut malam kian larut.

***

"Jadi, apa sebenarnya tujuan lo bawa gue ke Istana lo?" tanya Feli membuka percakapan saat Dinko dan dirinya tengah berdiri di atas papan luncur emas dengan ukuran lumayan besar yang akan mengantar mereka ke setiap sudut ruangan.

"Gue bingung jelasin lo dari mana. Waktu lo menuntut ingin tau semuanya, yang terlintas dipikiran gue ya... bawa lo ke sini langsung."

Feli hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Gadis itu menolehkan kepala saat mendengar lanjutan dari ucapan Dinko, "Lo tanya aja deh, apa yang mau lo ketahui. Gue bingung ngomongnya."

"Hm... mulai dari mana, ya?" tanya Feli pada diri sendiri sambil menggaruk dagunya. "Oh, iya. Kenapa dari awal kita masuk, di antara satu jarak gerbang raksasa dengan gerbang lainnya, kita disambut dengan makhluk yang berbeda? Maksud gue... eung..." Feli menggaruk tengkuknya tak enak. "Maaf nih, ya. Gue ngomongnya frontal aja. Di gerbang pertama, yang menyambut kedatangan kita keliatan kayak nggak ada arwah yang benar-benar tenang, wajah dan tubuh mereka cacat, udah gitu bau lagi." Komentar Feli malah disambut tawa oleh Dinko. Itulah Felisya, tak akan mengerti di mana tempat yang baik dan kurang baik untuk menyusun kata-kata yang lebih pantas didengar.

Dinko berdehem untuk menghentikan aksi gelak tawanya sebelum menjawab, "Gini, Fel. Pada dimensi gue ini, khususnya di Paleis hingga pembatas antara dunia gue dan dunia lo, itu tugas penjagaannya udah jelas dan nggak boleh ditukar. Kayak yang lo bilang tadi, biar mudah gue ikut frontal, deh. Yang paling buruk rupa, akan diberikan tempat tinggal yang paling jauh dari Istana, tempat mereka di dekat sekat dimensi ini. Untuk yang sedang-sedang, atau terlihat seperti manusia yang lumayan normal, akan ditempatkan di tengah-tengah dimensi, dan yang ganteng-ganteng kayak gue ya, di Istana."

Feli memutar bola matanya jengah. "Mulai, deh!"

Dinko terkekeh, kemudian melanjutkan. "Jadi, di dunia gue ini ada 3 jenis golongan. Yang lo maksud paling jelek tadi, mereka tergolong ke dalam Toranus Sarpatha, golongan ini sebagian besarnya terdiri dari manusia. Wujud mereka yang buruk bukan tanpa alasan. Itu adalah hukuman bagi mereka yang tidak menerima ketetapan Tuhan. Mereka pernah hidup kayak lo, cuman, manusia-manusia ini adalah mereka yang arwahnya nggak tenang, mati mengenaskan, tidak bisa menerima takdir, dan jadilah mereka tertahan di sini. Tidak bisa kembali ke alam baka karena sudah terlepas dari pengakuan Tuhan, tapi tidak juga bisa kembali ke dunia yang bersifat fana karena mereka sudah memilih untuk tidak tinggal di sana lagi."

DE WRAAK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang