BOVENNATUURLIJK PALEIS

135 20 3
                                    

Satu jam berlalu setelah Felisya meminta Bocis untuk menyampaikan pesannya pada Dinko, namun hingga kini gadis itu masih mondar-mandir di samping tempat tidurnya karena gelisah menunggu pangeran jin itu yang tak kunjung datang. Geram. Sebelah tangannya masih saja terkepal dan sesekali ia pukulkan ke sebelah telapak tangannya yang terbuka. "Awas aja sampai nggak dateng, gue nggak mau lagi temenan sama tukang ingkar janji," rutuknya.

Bosan bolak-balik di dalam kamarnya, ia pun membuka pintu yang membatasi balkon dengan ruang kamarnya, gadis itu memerhatikan sekelilingnya yang sepi dari teras kamar. Benar-benar dalam artian sepi. Tidak ada manusia, tidak ada makhluk halus. Gadis yang memiliki iris mata abu gelap itu mengernyitkan dahi yang menyebabkan kedua alisnya tertaut rapat. "Tumben, nggak biasanya sesepi ini," gumamnya pada diri sendiri. Kepalanya menoleh ke rumah tetangga yang halamannya terdapat pohon akasia besar dan tua, biasanya di sana selalu ramai karena 'mereka' telah membuat kesepakatan untuk menjadikan tempat itu sebagai markas berkumpul. "Setan-setannya pada ke mana? Nggak biasanya sesepi ini. Bocis nggak keliatan lagi setelah drama setan tadi. Jum juga mana, bukannya jam segini udah bergelantungan di sana?" tanyanya sembari memerhatikan pohon kosong itu. Sebenarnya, namanya bukan Jum. Setan perawan itu pernah datang mengunjungi Feli lalu menceritakan kronologis kematiannya yang tragis hanya karena keputusasaan—gantung diri, Jum bercerita kalau dia bunuh diri karena pacarnya menghamili perempuan lain, dan tentu saja kebijakan orang tua akan langsung menikahkan lelaki itu dengan si korban sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Berbicara soal Feli yang memanggilnya Jum, gadis indigo itu lupa apa nama yang setan itu sebut saat sedang bercerita, karena sebenarnya dia tidak tertarik dan berpikir; sepenting apa ia harus mengingat nama setan yang menghuni rumah tetangganya itu? Nama "Jum" hanya terinspirasi dari kata Jum'at, karena setan itu datang dan bercerita pada hari itu.

Feli menghela napas berat, lelah menunggu dan berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk kembali masuk ke kamarnya. Baru saja gadis itu akan menutup pintu balkonnya saat ia merasakan perubahan hawa kamarnya sebagai pertanda ada yang datang. Feli menyapu pandangan, mencari siapa yang baru saja mendekati wilayah teritorinya. Ia tak menemukan keberadaan siapa pun, namun suasana ruangan itu semakin menghangat.

Feli memutar bola matanya lalu berdecak malas, "Ck, lo siapa sih? Keluar buruan!"

Krik

Krik

Krik

Tak ada tanggapan apa pun dari siapa pun. Gadis itu kemudian melipat kedua tangannya di depan dada sambil mengancam dengan santai, "Gue hitung sampai tiga! Kalau masih nggak keluar, siap-siap aja tubuh lo kebakar karena gue bacain. Satu ...."

Feli melirik kiri dan kanan melalui ekor mata, kemudian memejamkannya. Mulutnya baru saja akan komat-kamit saat suara berat menahannya, "EHHH... JANGAN!!!"

Feli kembali membuka mata dan mendapati Dinko tepat di depannya dengan mimik wajah panik. Gadis itu pun tersenyum licik.

"Curang lo! Katanya hitung sampai tiga," sungut Dinko sambil berjalan gontai menuju ranjang Feli.

Feli menyandarkan tubuhnya di pintu balkon, kemudian menatap setan yang baru saja duduk di ranjangnya itu dengan ekspresi datar.

Dinko mendongakkan kepalanya menghadap Feli karena tak mendengar ada kata yang terucap sepatah pun dari gadis itu. Melihat wajah Feli yang masam, Dinko pun berkata, "Iya, deh. Tau kok gue salah. Tadi gue harus ngurusin banyak hal dulu."

"Terus... lo pikir gue perduli?" ucap Feli ketus.

Dinko mengacak rambutnya frustasi. "Jangan gitu dong, gue bingung harus bersikap kayak gimana biar lo ngerti."

DE WRAAK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang