PROBLEEM

122 17 0
                                    

Feli baru saja memijakkan kakinya di ruang tengah, yang diekori oleh Teta dan sang mama yang memaksa untuk menahan tubuh anaknya dari samping dengan merangkul bahu Feli agar gadis itu tidak limbung. "Feli udah bilang, Ma. Feli nggak pa-pa, bisa jalan sendiri kok ini," ujarnya yang ke sekian kalinya pada sang mama.

Namun, Veni tetap bersikeras ingin mendampingi anak gadisnya hingga selamat sampai di kamar.

Teta membantu ibu dan anak itu membawakan tas yang berisi pakaian kotor, dan keperluan lainnya yang telah digunakan Veni selama di rumah sakit.

Dari teman-teman Feli, hanya Teta yang memiliki waktu yang lumayan senggang untuk menemani gadis itu sampai ke rumahnya. Sedangkan Andra, ia izin pamit pulang sebentar untuk mandi dan mengisi perut, setelah itu baru ia akan datang lagi malamnya ke rumah sahabat sekaligus tetangganya itu.

Teta duduk di samping Feli yang membaringkan badannya di ranjang, sedangkan kakinya dibiarkan menjuntai ke bawah.

"Haaah, akhirnya. Gue bisa berbaring santai lagi di kamar ini," ucap Feli dengan mata tertutup.

Teta menoleh kemudian membenarkan kacamatanya. Dalam hatinya, gadis itu masih sedikit jengkel karena perlakuan Andra pada Feli yang terlihat berlebihan untuk sahabat kecilnya. Ayo, Teta. Jangan kayak anak kecil, batinnya.

"Ehem." Teta berdehem untuk menetralkan suaranya sebelum bertanya pada Feli. "Gue pengen nanya tentang apa aja yang lo alami di dunia gaib, tapi kalo inget penjelasan lo di rumah sakit tadi, kepala gue bener-bener nggak bisa mencerna bagian mana pun."

Feli membuka mata lalu melirik Teta, ia pun berdecak. "Ck! Susah emang ngomong sama lo pada. Gini deh, gue udah sering ceritain lo tentang Dinko kan?"

Teta mengingat-ingat kemudian menganggukkan kepalanya. "Pangeran jin itu, kan?"

"Iye. Nah, jadi malam itu gue di bawa ke istana dia."

Teta mengernyitkan alisnya samar. "Ngapain?"

Felisya berpikir, apakah dia akan jujur siapa Radit? Atau tentang Dinko yang memiliki saudara kembar? Tapi, apa untungnya buat Teta? Dan mungkin saja, gadis di depannya ini hanya ingin tahu, tidak lebih. Felisya kemudian menjawab, "Jalan-jalan aja, ngasih tau gue gimana kehidupan dimensi lain." Feli kembali menutup matanya rapat.

Teta mengangguk paham meski masih tercetak sedikit kerutan di dahinya.

"Andra mana?" tanya Feli pada Teta.

Teta bangun dari duduknya, kemudian melangkah menuju meja rias di kamar itu. "Bentar lagi dateng, katanya mau man—"

BRAK!

"Aaaaaa!" Feli dan Teta spontan berteriak nyaring karena pintu kamar yang terbuka lebar dan menubruk dinding di belakangnya dengan sangat keras.

Andra masih memegang pintu dengan sebelah tangannya, dan sebelah lagi memegang perutnya yang terasa kram karena terlalu banyak terbahak, ia masih berusaha meredam tawanya, tapi selalu gagal saat pikirannya lagi dan lagi menampakkan ekspresi konyol dua gadis di ruangan itu.

Teta dan Feli melayangkan tatapan kesal karena keusilan lelaki dengan rambut pirang yang sedikit basah—karena baru selesai mandi.

Merasa hanya dirinya yang terhibur dan tidak ada suara apa pun selain gelaknya, Andra mulai menghentikan tawanya sembari mengangkat pandangan ke arah tatapan nyalang yang diberikan untuknya oleh kedua gadis di kamar itu.

Andra mencoba membuka suara, "Maaf, tadi cuma—"

"Nggak lucu!" sela Feli dengan ketus.

Teta hanya melirik mereka secara bergantian. Ia pun menolehkan kepala menghadap Andra kemudian berkata dengan lembut. "Jangan gitu lagi, Ndra. Lo kan tau dia baru sembuh."

DE WRAAK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang