SATU - GUKIE DAN TELUR AYAM

42.7K 2.8K 371
                                    

Sinar matahari nampak menyengat menyinari Kota Seoul di hari Minggu.

Anak laki-laki berusia enam tahun itu mengerutkan dahinya berulang kali. Ah, biar dikenalkan. Namanya Jeon Gukie, anak pertama—dan memang baru pertama—dari pasangan Jeon Jungkook dan Jeon Jihye.

Sambil menopang dagu di atas lipatan tangan yang ia letakkan di meja marmer, matanya tak beralih sama sekali pada telur ayam berwarna cokelat tersebut.

Tidak. Gukie tidak sedang heran, tapi berusaha untuk menangisi telur ayam yang sudah hancur berantakan di atas meja itu.

Bau amis yang menyengat hidungnya serta putih telur yang meluber, membuat Gukie sangat-sangat tertekan dan sedih. Ingin menangis, tapi susah sekali keluarnya.

Ah, ia jadi sebal dengan air matanya yang tak kunjung menetes itu.

“Goo, sedang apa?” Park Jihye yang tadinya membersihkan kamar kini muncul secara mendadak, berdiri pada ambang pintu kamar yang terletak di lantai bawah, kemudian memandang heran anak satu-satunya yang sedang menoleh ke arahnya sambil mengerucutkan bibir dan meremas punggung kursi bar.

Mengembuskan napas dalam, Jihye mendadak cemas dengan ekspresi Gukie. Namun, ketika ia telah mencapai konter dapur, Jihye buru-buru memekik.

“Astaga, Goo. Kenapa dipecah?” tanyanya mencoba untuk tenang.

Gukie sekarang benar-benar menangis. Bukan, bukan karena pekikan sang ibu, melainkan rasa empati yang sejak tadi ingin ia keluarkan.

“Gukie tidak tahu, Mommy. Gukie pikir itu bola,” katanya sambil menyeka pipi basahnya yang bulat.

Tidak menyangka. Jihye tadinya berpikir Gukie merindukan ayahnya yang sedang ke Busan untuk melihat kondisi rumah lamanya. Akan tetapi, Jihye lekas menyadari bahwa Gukie tengah mengasihani keadaan telur ayam yang telah pecah.

Melihat wajah Gukie yang memerah dengan air mata yang terus menetes, Jihye jadi terenyuh. Lekas wanita itu memeluk Gukie dan menepuk punggung mungilnya.

“Ssstt, tidak apa-apa. Mommy tidak marah, kok,” katanya mengira Gukie takut padanya.

Gukie menggeleng dalam pelukannya. “Gukie kasihan dengan si bulat. Gukie sudah merusaknya. Dia jadi rusak, lalu menangis,” jawabnya polos.

Jihye merosotkan rahangnya. Meneguk saliva enggan, kemudian paham dengan maksud sang anak.

Gukie menyimpulkan bahwa telur ayam itu menangis setelah dilempar Gukie—padahal yang keluar bukan air mata, melainkan putih dan kuning telur.

Ada-ada saja.

Masih berusaha menenangkan anaknya, satu tangan Jihye beralih untuk mengambil beberapa lembar tisu di sudut meja bar sebelum membersihkan telur ayam yang sudah pecah.

“Tuh, si bulat sudah tidak menangis lagi.” Jihye berseru, membuat Gukie melepas pelukan dan menatap meja dengan sayu.

Tapi, detik berikutnya Gukie terheran-heran. “Mommy ... kenapa hilang? Gukie, kan, mau kubur di halaman belakang.”

Aduh, Jihye jadi memikirkan apa saja yang ia makan saat mengandung Gukie.

“Hei, telur bukan makhluk hidup,” kata Jihye kemudian membuang tisu ke tempat sampah. Meninggalkan Gukie sambil menatapnya yang kini memasuki area dapur untuk mencuci tangan.

“Makhluk hidup itu apa, Mommy?” tanya Gukie tiba-tiba.

Jihye termenung sejenak. “Makhluk hidup itu seperti Mommy, daddy, Gukie, Uncle Jim, tumbuhan, dan hewan.”

EUPHORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang