Bab. 6

27.2K 1.4K 45
                                    

MALAM yang TERTUNDA (6)

💖💖💖

Hari demi hari, kulalui seperti pada awalnya. Mas Aksa yang sibuk bekerja. Raka sibuk kuliah dan keluyuran. Hm, mungkin lebih tepatnya pacaran. Aku yang selalu diajak Mama mendatangi butik. Bukan butik di mall, Jakarta Selatan seperti pertama waktu itu, tapi cabang-cabang butik lainnya.

"Kamu harus belajar mengelola butik ini, Inaya. Siapa lagi yang akan meneruskan jika bukan istri anak Mama. Sedangkan anak-anak Mama sudah sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter."

Aku tersenyum saat Mama mengatakan itu. Bukankah sangat menyenangkan, memiliki mertua yang sangat sayang. Jarang-jarang, bukan?

Setiap sore, Mama selalu mengajakku memasak untuk makan malam. Memberikan resep-resep masakan kesukaan Mas Aksa. Membuat kue, makanan ringan, atau masakan khas dari desa.

Perlahan, aku mulai merasa nyaman dengan Mama juga rumah ini. Sayang, tidak lama lagi, Mas Aksa akan membawaku pindah ke rumah baru. Mencoba mengarungi rumah tangga berdua.

Aku pun mulai terbiasa mencium tangan Mas Aksa saat berangkat dan pulang kerja. Terbiasa dengan debar-debar di dada saat Mas Aksa menepuk pelan puncak kepala. Terbiasa duduk berdua di ranjang dan mendengarkan ceritanya.

Bukankah itu definisi dari kata cinta?

Ternyata mudah sekali membuat wanita jatuh cinta. Berikan saja dia ketulusan dan kenyamanan, maka cinta pun akan muncul dengan sendirinya.

Apa itu artinya ... aku sudah siap untuk memulai malam-malam yang sempat tertunda? Entah. Tapi bagaimana cara memulainya. Sedangkan Mas Aka, justru menungguku mengatakan lebih dulu. Apa lelaki yang baru menikah semuanya begitu?

***

Seperti biasa, malam ini saat duduk berdua bersandar kepala ranjang, Mas Aksa akan bercerita. Kali ini, ia memperlihatkan foto almarhum Papa saat menggendongnya yang masih berusia sembilan tahun. Lalu, ada juga yang foto saat kelulusan SMA. Di situ, terlihat jelas bahagia pada raut wajah keduanya. Sama-sama tertawa lepas.

"Papa meninggal saat aku baru kuliah semester dua." Mas Aksa memulai cerita. "Papa meninggal karena penyakit maag kronis. Waktu itu, kami habis-habisan soal uang untuk membayar biaya rumah sakit. Bahkan aku sempat tidak ingin meneruskan kuliah, agar uang bisa dipakai untuk pengobatan Papa."

Mas Aksa menarik napas panjang. Aku diam mendengarkan.

"Tapi Papa menginginkan aku sukses dalam sekolah juga pekerjaan. Aku harus tetap kuliah sampai mendapat gelar sebagai dokter. Itu yang diinginkan Papa. Semenjak itu, aku bersumpah bahwa aku akan terus belajar dan belajar, agar bisa menjadi yang terbaik di universitas tersebut. Namun, sayang ... Papa pergi sebelum aku sempat memperlihatkan nilai IPK-ku yang nyaris sempurna. Papa belum sempat melihatku mendapat gelar saat sarjana."

Mas Aksa memejamkan mata. Kembali menarik napas panjang. Aku bisa merasakan betapa sesaknya mengenang kesakitan. Ditinggalkan oleh orang tersayang.

"Satu lagi yang Papa inginkan sebelum kepergiannya. Papa meminta agar aku menikahi anak dari sahabatnya. Sahabat kecil di desanya."

"Aku?" sahutku. Mas Aksa mengangguk lemah. "Kenapa Mas Aksa mau? Padahal, Mas Aksa sama sekali belum pernah bertemu denganku. Sama sekali gak tahu bagaimana rupaku. Sama sekali gak tahu bagaimana baik dan buruknya aku."

Mas Aksa menyeringai tipis. "Bagiku, Papa adalah segalanya. Sosok lelaki yang luar biasa. Berjuang mati-matian menghidupi keluarganya. Rela bekerja seharian sampai larut malam agar anaknya bisa sekolah. Bagaimana mungkin aku tega menolak keinginan terakhirnya? Tak peduli jika anak sahabat Papa itu ternyata tidak cantik, gemuk, pendek, atau hitam dan dekil misal. Tak peduli jika ternyata dia akhlaknya begitu buruk. Aku sudah bersumpah akan menikahinya."

MALAM yang TERTUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang