Bab. 4

25.8K 1.4K 24
                                    

MALAM yang TERTUNDA (4)

💖💖💖

Pagi ini, aku tengah bersiap-siap membereskan pakaian dan barang yang sekiranya diperlukan. Nanti sore, aku sudah akan dibawa Mas Aksa ke Jakarta.

Rasanya, masih belum percaya. Bahwa aku sudah menyandang status sebagai seorang istri. Kemudian pergi meninggalkan rumah ini. Rumah yang selama 23 tahun, menjadi tempat ternyaman. Sekarang, aku harus rela pergi demi mengikuti suami.

Mungkin, seperti inilah yang dinamakan fase kehidupan. Mulai dari kita dilahirkan, bayi, balita, anak kecil, remaja, lalu dewasa dan akhirnya menjemput kehidupan baru. Bersama orang baru. Lalu melahirkan generasi baru. Seterusnya begitu.

Masalahnya, ada yang memang sudah siap, tapi ada juga yang dipaksa siap. Kalau aku, alhamdulillah pilihan tetap orangtua serahkan sepenuhnya padaku. Tidak ada perjodohan apalagi paksaan. Orangtua hanya memberi nasihat. Melihat lelaki baik atau tidaknya yang datang melamar dan meminta anak gadisnya.

Namun, ada juga orangtua yang memaksakan kehendak. Sama sekali tidak melihat bagaimana perasaan sang anak. Baginya jika lelaki itu cocok dan baik, maka mau tidak mau si anak harus menerima. Tanpa sadar, sebuah beban telah mereka tumpahkan. Hingga tak sedikit pula yang akhirnya rumah tangga hancur berantakan.

Sejak awal, saat aku menerima lamaran Mas Aksa, Ayah dan Ibu tiada hentinya memberi wejangan. Tentang rumah tangga, pernikahan, dan bagaimana menyikapi masalah yang benar.

"Ingat, Nay. Selalu utamakan suami daripada diri sendiri. Layani dia sepenuh hati. Siapkan apa pun yang dia butuhkan. Pelan-pelan belajar dan pahami bagaimana sifat dan karakternya. Jangan pernah sekali pun membantah atau bahkan menyela saat suami berkata. Jika dia marah, diamlah. Nanti saat keadaan sudah sedikit tenang, pelan-pelan dekati. Insya Allah, masalah tidak akan berlarut jika salah satunya mau mengalah."

Begitulah Ibu menasihati. Aku hanya diam mendengarkan semua perkataannya. Ya, Ibu adalah sosok sempurna sebagai seorang istri. Panutan utama bagiku untuk menjadi istri yang baik nanti. Darinya, aku belajar banyak hal tentang bagaimana melayani suami dengan baik tanpa rasa pamrih.

"Lelaki itu memang kuat fisik dibanding perempuan. Tapi masalah hati dan ketegaran, perempuanlah yang jauh lebih kuat. Lelaki juga jarang berbicara banyak hal, tapi yakinlah jika di hatinya punya banyak cinta."

Aku tersenyum. Benarkah? Tapi, apa mungkin Mas Aksa mencintaiku? Ah, rasanya belum. Mana bisa secepat itu jatuh cinta pada wanita yang baru dikenalnya. Meskipun aku sudah sah menjadi istrinya.

Mas Aksa sendiri, sejak kemarin selalu diberi wejangan oleh Ayah. Duduk berdua di teras depan, entah membicarakan apa saja. Namun, melihat bagaimana akrabnya Ayah dengan Mas Aksa, rasanya damai sekali. Rasa syukur tiada henti, karena sekarang aku memiliki dua lelaki yang paling aku muliakan di dunia ini.

Saat memasak bersama pun, Ibu tiada henti memberiku nasihat tentang bagaimana seharusnya seorang istri memasak untuk suami. Kalau ini, aku malu sendiri. Apalagi ketika kedua adikku meledek dengan berbagai godaan.

"Inget, Mbak. Mas Aksa jangan dikasih masakan gosong. Kasihan kulitnya yang putih." Nirma, adikku yang berusia 17 tahun, terkekeh.

Aku melotot tak terima.

"Iya. Apalagi kalau keasinan. Nanti disangka Mbak Nay mau nikah lagi." Aini, adikku yang berusia 13 tahun menyahut dengan tawa menggelegar.

Aku menimpuknya dengan bawang merah. Dan mereka masih saja tiada henti menggodaku. Sampai Ibu kembali berkata dengan nada serius, dan kami semua terdiam mendengarkan.

"Satu hal lagi, Nay. Kalau nanti kamu merasa pusing atau mual, jangan buru-buru minum obat sembarangan. Ingat, kamu bukan lagi gadis. Jadi, harus hati-hati."

MALAM yang TERTUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang