Bab. 14

27.6K 2.1K 547
                                    

MALAM yang TERTUNDA (14)

💖💖💖

Ketika panggilan 'Dek' berubah nama dengan bentakan saja sudah sangat sakit. Apalagi dibanding-bandingkan dengan wanita masa lalunya. Jangan tanya bagaimana rasanya.

Mati!

Hatiku bagai mati saat ini. Semua rasa itu terbunuh oleh kata-katanya. Dia menancapkan pisau belati di hati. Kemudian menyayatnya hingga goresan itu semakin dalam. Perih!

Semua ucapannya seperti tamparan keras. Seolah aku hanya wanita yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita yang ada di hatinya. Seakan aku adalah wanita paling egois karena memikirkan perasaan sendiri.

Ini ujian ataukah hinaan?

Andai belum ada janin di rahimku, mungkin semua akan jauh lebih mudah untuk mengambil keputusan. Tapi tetap saja, ada orangtua yang akan ikut terluka dengan kegagalan rumah tangga anaknya.

Siapa yang harus disalahkan sekarang? Takdir? Entahlah. Toh aku sendiri yang memutuskan menerima pinangan Mas Aksa.

Jadi ini semua salahku. Dan sekarang adalah resiko yang harus kuambil.

Bertahan pada kesakitan demi janinku dan orangtua. Agar mereka tak merasakan luka seperti yang kurasakan.

Suara bel rumah berbunyi. Itu pasti Mama. Tapi aku sama sekali tak berniat menemuinya. Apa yang harus kujelaskan jika tahu sembab di mata ini. Yang paling berhak menjelaskan adalah Mas Aksa. Tapi dia pergi entah ke mana.

Ponsel di samping bantal berdering. Aku hanya melirik sekilas melihat nama pemanggil. Mama. Aku menggeleng dan tak berniat mengangkatnya. Aku hanya ingin sendiri saat ini.

***

Air dari langit mulai berjatuhan. Rintik yang awalnya pelan, mulai semakin deras. Bibir menyeringai tipis. Seolah hujan yang turun, sedang menemani tangisku.

"Aku suka hujan!" seruku di bawah guyuran hujan yang sangat deras di belakang rumah. Saat itu usiaku sekitar lima tahun.

Masih kuingat jelas, Ibu yang marah-marah karena aku bermain hujan. Lalu Ayah datang membela. Ikut hujan-hujanan bersamaku.

Ayah! Adalah satu-satunya lelaki yang tidak pernah rela anak perempuannya dimarahi oleh siapa pun. Lalu, bagaimana jika sekarang Ayah tahu, kalau anak perempuannya dibentak-bentak oleh lelaki yang berjanji menjaga.

Sepertinya hanya Ayah, satu-satunya lelaki yang mencintaiku sepenuh hati. Yang rela melakukan apa pun demi kebahagiaanku. Yang tak rela melihat air mataku terjatuh. Hanya Ayah.

Dan teringat, saat hari-hari sebelum acara pernikahan. Hati yang dirundung gelisah dan keraguan. Benarkah keputusan yang telah kuambil? Lalu Ibu membelai rambutku lembut dan memberi banyak nasihat, menguatkan.

"Bu, apa keputusan yang aku ambil sudah tepat? Aku takut jika suatu saat nanti gagal mempertahankan pernikahan. Karena aku dan Mas Aksa baru saja mengenal."

"Memangnya ada jaminan, jika bertahun-tahun mengenal, pernikahan akan langgeng? Tidak, Nay. Tidak ada jaminan sama sekali dalam sebuah pernikahan. Mau baru mengenal atau sudah puluhan tahun sekali pun. Sama saja. Tergantung bagaimana kehidupan rumah tangga nanti."

Aku yang tiduran di pangkuan Ibu, mendongak menatap wajah teduh itu dengan tatapan meminta penjelasan lebih.

"Kamu tahu, Nay? Kita itu, menikah dengan orang yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Itu sebabnya, dia akan tetap menjadi orang lain sepanjang apa pun usia pernikahan. Tak heran, jika banyak yang memutuskan berpisah dan bahkan bermusuhan. Padahal, usia pernikahan sudah puluhan tahun."

MALAM yang TERTUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang