Bab. 11

22.8K 1.5K 79
                                    

MALAM yang TERTUNDA (11)

💖💖💖

Malam yang biasanya kutunggu, berubah menjadi waktu yang begitu membelenggu. Waktu di mana aku duduk berdua bersandar kepala ranjang. Mendengarnya bercerita banyak hal. Senyumnya yang mampu membuat jantungku berdegup kencang.

Aku … rindu malam-malam itu.

Malam ini terasa begitu mengerikan. Aku yang sibuk dengan pikiran dan hati berkecamuk liar. Mas Aksa sibuk dengan laptop dan buku-buku tebalnya di tangan.

Ada yang salah. Perubahan yang begitu tak kumengerti. Bertanya ada apa? Selalu dijawab tidak ada apa-apa dan baik-baik saja.

Bagaimana bisa dia bilang baik-baik saja, sedangkan tatapannya jelas menyiratkan perbedaan. Aku melihat bayangan lain di sana.

Terpejam tapi tangan berkali-kali menyeka sudut mata yang menumpahkan airnya. Sakit tapi tidak tahu cara menyampaikannya. Tidak bisakah ia melihat dari sorot mataku yang menyiratkan ketidakrelaan dan bertanya banyak hal?

Malam pun berlalu dan pagi menyambut, berharap ada secercah harapan yang bisa membuat wajah menyunggingkan senyuman. Nyatanya, semua masih sama saja.

Pagi-pagi sekali, Mas Aksa sudah rapi, bersiap pergi mengurus semua keperluan untuk persiapan keberangkatan ke Belanda. (Hanya) dua atau tiga tahun (saja) katanya. Aku tertawa miris mendengar kata 'Hanya dan Saja'.

Baginya, itu adalah waktu yang singkat. Tak berarti apa-apa. Bukankah sudah sangat jelas, bahwa aku sama sekali tak berarti apa-apa baginya? Ketika anggukan samar kuberikan, ia tersenyum semringah mengucapkan terima kasih berkali-kali. Lagi lagi, aku tertawa miris.

"Kamu sakit apa, Dek?" Mas Aksa menyentuh dahiku saat di meja makan waktu sarapan.

Aku menggeleng lemah. Bukan fisikku yang sakit, tapi hati. Tak bisakah ia mengerti?

"Wajah kamu pucat." Mas Aksa menyentuh pipi kemudian mengangkat daguku agar menatapnya.

"Aku gak apa-apa, Mas. Cuma sedikit sakit kepala."

"Cepetan makannya, nanti aku kasih obat."

Aku kembali menggeleng. Sama sekali tidak berselera makan.

Mas Aksa menggenggam jemariku. Menatapku dalam-dalam. "Apa kamu gak ikhlas aku pergi ke Belanda?"

Aku menggigit bibir. Menunduk. Menggeleng. Tak tahu harus berkata apa.

"Nanti aku usahakan lulus secepatnya. Dua tahun. Aku janji." Mas Aksa kembali mengangkat daguku.

"Tidak bisakah aku ikut denganmu, Mas?" Bergetar suaraku mengatakan itu. Setetes air meluncur juga dari mataku. Sesak tak dapat kutahan.

Mas Aksa bergeming. Jemarinya menyeka pipiku yang basah. Lalu meraihku dan mendekap erat. Aku terisak.

"Aku gak mau jauh dari kamu, Mas. Kita baru dua bulan menikah." Suaraku parau di sela isak tangis.

Mas Aksa hanya mendekapku semakin erat. Tanpa jawaban. Tanpa suara. Membuatku semakin sesak. Sendirian.

***

Mataku mengerjap pelan. Kepala jauh lebih ringan daripada beberapa jam yang lalu. Posisiku sekarang ada di ranjang. Tidur sejak pagi tadi karena tak kuat menahan denyut di kepala.

Menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Melirik jam bundar yang tergantung di dinding kamar. Pukul 10.30. Itu artinya aku tertidur hampir tiga jam lebih. Melangkah keluar kamar saat mendengar suara orang sedang bicara di lantai bawah.

MALAM yang TERTUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang