Bab. 12

27.1K 1.7K 257
                                    

MALAM yang TERTUNDA (12)

💖💖💖

Pintu kamar mandi digedor berulang, aku menjawab serak untuk menunggu dengan sabar. Setelah beberapa menit tercenung menatap test pack di tangan, dengan langkah gontai aku membuka pintu.

"Bagaimana?" Mas Aksa bertanya tidak sabaran. Menatap wajahku lalu test pack di tanganku. Mengambil dan melihat. Seketika saja, matanya membulat sempurna.

Aku menggigit bibir, menelan ludah, dan menatap was-was. Ada banyak kemungkinan yang kupikirkan.

"Positif!" serunya. Bibirnya terkembang pelan. Menatapku lalu memeluk erat. "Positif, Dek! Kamu hamil. Mama pasti seneng dengernya."

Mama?

Mas Aksa melepas pelukan, masih dengan napas tak beraturan karena saking senangnya, ia berujar, "Aku hubungi Mama dulu." Berlalu ke meja di samping ranjang, mengambil ponsel.

Aku mematung di sini. Haruskah aku bahagia dengan semua ini? Aku hamil, dan Mas Aksa menyambutnya dengan gembira. Tapi bukan dirinya, melainkan Mama yang pertama dipikirkannya.

Lihatlah, Mas Aksa bahkan tersenyum lebar dan sangat antusias memberitahu Mama. Haruskah aku bahagia mendengarnya? Tapi mengapa hatiku justru terluka. Ada yang salah tentunya.

"Bagaimana dengan rencana ke Belanda, Mas?" Aku bertanya pelan saat sudah duduk berdua di ranjang.

Mas Aksa mendesah berat. Meraup wajah secara kasar. Menggeleng lemah. "Entah. Aku bingung, Dek. Aku gak mungkin bawa kamu saat hamil muda. Takut kalau kamu kenapa-napa nanti. Hamil muda masih sangat rentan. Apalagi di sana, tidak ada siapa-siapa yang bisa bantu dan menemani."

Aku menatap datar. "Apa … Mas Aksa akan tetap pergi?"

Mas Aksa memejamkan mata. Kembali mendesah berat. Seolah semua adalah keputusan yang sulit sekali. Tidakkah aku jauh lebih berarti?

***

Hati sedikit merasakan kelegaan ketika menelepon Bapak dan Ibu. Kemudian kedua adikku jahil bersahutan menggoda. Ibu yang dengan tutur kelembutannya memberi nasihat banyak tentang kehamilan. Aku tersenyum mendengarkan.

"Kamu baik-baik saja kan, Nay?" Bapak bertanya. Seolah tahu jika hati anaknya tengah terluka. Mungkin, ia adalah satu-satunya lelaki yang tidak akan rela melihat air mataku terjatuh. Satu-satunya lelaki yang mencintaiku dan rela mengorbankan apa pun demi diriku.

"Aku baik-baik saja, Pak." Tersenyum meski Bapak tak melihat. Mereka tak perlu tahu apa yang aku rasakan. Ah, mungkin karena hatiku terlalu sensitif karena kehamilan. Toh Mas Aksa masih melakukan kewajibannya sebagai suami. Apa sebenarnya yang aku tangisi?

Mama hari ini datang membawa banyak buah-buahan. Melayaniku dengan ketulusan. Sama halnya dengan Ibu, Mama juga memberikan banyak nasihat tentang kehamilan. Menenangkan sekali mendengarnya.

Sampai tiba pada obrolan tentang kuliah Mas Aksa ke luar negeri. Jika dulu Mama terlihat menginginkan sekali anaknya bisa mengambil pendidikan lebih tinggi, kini justru Mama yang melarangnya.

"Mama minta batalkan saja rencana kamu ke luar negeri, Nak. Istrimu sedang hamil. Jangan buat dia banyak pikiran apalagi sampai ditinggal."

Mas Aksa menunduk lesu. Lagi lagi, hatiku rasanya seperti teriris melihat ekspresinya. Seakan kehamilanku justru menjadi beban penghalang.

"Kalau Inaya diajak tinggal di sana, Mama tidak setuju. Di sana gak ada keluarga. Kalau kamu sedang sibuk di luar, terus terjadi sesuatu dengan Inaya bagaimana?" Mama kembali menegaskan.

MALAM yang TERTUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang