Berjalan sendirian ditempat asing memang bukan perkara yang mudah. Pasalnya kita yang masih merasa asing ini sangat canggung untuk melakukan segala halnya seorang diri.
Tidak terkecuali dengan ku. Ditengah banyaknya orang yang lalu lalang sibuk dengan urusannya masing-masing, aku berjalan sendirian memecah kepadatan kumpulan mahasiswa disini.
Hari sudah lumayan sore, namun lobi utama SNU masih dijajal ramai beberapa mahasiswa yang berlalu lalang entah sibuk apa atau hanya lewat untuk sekedar ingin pulang.
Aku berjalan santai dengan sedikit melamun hingga ku rasakan sebuah telapak tangan mungil yang sukses mendarat disisi bahu kanan ku, meluruhkankan ombak lamunan seketika.
Aku terlonjak kaget kemudian mencari asal muasal pemilik telapak tangan tersebut. Mengahadap seketika dan menatapnya nanar "Waee?"
"Yaa Seijin-ah akhirnya kau datang juga. Ku kira kau tidak jadi kuliah setelah menikah dengan ahjussi itu." Cibir Jimin yang asal bicara.
Ku tatap jengah manik mata hitamnya, "Tidak mungkin aku membatalkan niat ku untuk lanjut kuliah, kemarin aku hanya sedikit sibuk dirumah."
"Tapi, dilihat-lihat sepertinya kau kurusan ya Seijin? Machi?"
Ucap Jimin sambil menangkup kedua pipi ku menggoyang-goyangkannya kekiri dan kekanan."Jinjja? Aku tidak menyadarinya sama sekali tuh." Jawab ku malas sambil memalingkan wajah ku darinya.
Jimin sontak melebarkan matanya diikuti gerakan tangannya yang menyangga wajahnya layaknya sedang chibi chibi. "Aigooo, jangan-jangan kau tidak dikasih makan yaa dengan ahjussi itu."
"Sembarangan itu tidak benar. Aku hanya menjaga pola makan ku saja akhir-akhir ini. Aku sudah tidak pernah lagi makan daging atau makanan berat lainnya didepan Jin oppa." Ucap ku ketus menyangkal seratus persen apa yang baru saja tercurah asal dari birai tebalnya.
"Jinjjayeoo? Pantasan saja kau terlihat begitu pucat. Apa dia belum tahu tentang sindrom mu?" Tanya Jimin sedikit menyelidik.
Aku menghela napas panjang dan ku tatap pupil mata Jimin yang sedikit tersorot oleh sinar mentari sore saat itu dengan lesu, "Belum." Lalu merunduk pasrah.
Mendengar itu Jimin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, "Heolll... bagaimana bisa dia belum mengetahui sindrom mu itu padahal kalian sudah menikah. Seharusnya pasangan suami isteri itu tidak boleh saling menutupi bukan?"
"Nee arayeo, geunyang... nan musewo jika nanti Jin oppa tahu dia akan jijik dengan ku." Gumam ku lesu.
(Hanya saja, aku takut)"Tidak akan seperti itu percayalah jika dia benar-benar mencintaimu dia pasti akan menerimamu apa adanya. Arraseo?" Ucap Jimin kemudian melemparkan senyum indahnya hanya untuk ku.
"Geurae, aku akan coba bilang nanti." Jawab ku tak bersemangat semabari mengeratkan pegangan tangan ku pada tali ransel ku.
Jimin yang sangat peka terhadap suasana hati ku, seketika membaur dengan mengajak ku kesuatu tempat. "Bagaimana kalau sekarang kau ikut dengan ku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphania
RandomSegelintir kisah pelik, tentang bagaimana cinta dan maut yang terimplisit dalam satu takdir yang sama. Juli, 2019.