Chapter 3.1

58 7 5
                                    

Jujur saja, Ryota belum pernah bertemu orang semenyusahkan Tamaki.

Sulit sekali meminta Tamaki menjadi anggota bandnya. Setengah diri Ryota menyadari bahwa dia salah memaksa seseorang sampai begitunya. Namun Ryota sudah terlanjur kagum pada suara Tamaki yang jernih itu. Ryota ingin suara Tamaki terdengar dan diketahui oleh semua murid sekolahnya.

Entahlah, Ryota jadi tidak mengerti dirinya sendiri.

"SENPAI!"

"WOAH!"

Ryota menoleh kaget. Dia melihat wajah menyebalkan Yuu sedang menatapnya jengkel. Yuu dengan sangat konyol berteriak di telinga Ryota.

"Yuu! Kau berniat membuatku tuli?" seru Ryota.

"Kenapa kau jadi marah padaku? Kentaro-senpai menyuruhku memanggilmu dan kau terus mematung!" Yuu balas marah. "Kenapa harus aku yang disuruh memanggilmu, sih?" gumam Yuu pelan.

Ryota tidak membalas Yuu meski mendengar gumamannya. Dia memang terlalu sibuk melamun dan mengabaikan sekitarnya.

"Apa yang sedang kau pikirkan sampai tidak mendengar suaraku?" tanya Yuu masih kesal.

"Sesuatu yang sulit," jawab Ryota asal, membuat Yuu mengernyit bingung.

Meskipun sulit, Ryota bertekad harus menaklukkan Tamaki.

.

.

.

Mengantisipasi kedatangan cowok aneh itu, Tamaki langsung meninggalkan kelasnya begitu bel istirahat berdering. Dia berdiri di depan mesin penjual minuman di lorong, melihat isinya seolah memilih, padahal pikirannya sedang berada di tempat lain.

Sejujurnya Tamaki mulai tersentuh dengan kesungguhan Ryota. Melihat matanya yang kuat membuat Tamaki sadar bahwa Ryota serius. Namun Tamaki tidak suka terlalu terlibat dengan orang lain. Apalagi dirinya harus bernyanyi di depan orang banyak! Tamaki bergidik sebelum bisa membayangkannya.

Tamaki merasa sedikit pusing memikirkan masalah ini, dia asal memencet tombol mesin minuman.

"Kau suka yogurt stoberi?"

"Wah!"

Sebuah suara menyapa pendengarannya. Ryota bicara tepat di depan daun telingat Tamaki, sampai dia bisa merasakan napas Ryota. Tamaki berteriak berbarengan dengan suara botol jatuh. Tamaki menghela napas, mencoba mengurangi rasa kagetnya. Mengambil botol lalu menatap Ryota.

"Hai," sapa Ryota bodoh.

Tamaki hanya balas mengangguk.

"Kau sudah memustuskan?"

Tamaki sudah menebak apa yang ingin Ryota bicarakan. "Tidak."

"Eh? Kenapa?"

"Bukankah sudah jelas? Karena aku tidak mau."

Ryota terlihat kecewa. "Kenapa kau tidak mau?"

"Ya karena aku tidak mau."

"Kenapa kau sangat keras kepala? Kumohon bergabunglah!"

Tamaki mendesah kasar terang-terangan. Harusnya Tamaki membawa kaca di hadapan Ryota agar kata-kata tadi kembali ke diri Ryota sendiri. Sebenarnya siapa yang keras kepala disini?

"Kenapa kau sangat memaksaku?"

"Karena aku menginginkanmu."

Tamaki merasa sedikit marah mendengar paksaan Ryota. Dia meninggalkan Ryota tanpa berkata apa-apa.

"Eh? Taki, kau mau kemana?"

Ryota mengikutinya.

"Berhenti mengikutiku."

"Bagaimana dengan klub bandnya?"

"Sudah kubilang aku tidak mau ikut."

Mereka tiba di lorong sepi yang jarang dilewati orang. Tamaki terbelalak ketika tangan kanannya ditarik keras sehingga membuatnya mundur. Belum sembuh keterkejutannya, bahunya didorong sampai badannya menabrak dinding. Lalu Ryota membanting tangannya ke dinding kedua sisi Tamaki sampai membuat bunyi 'brak', mengunci posisi Tamaki. Ryota menatap Tamaki tajam, sedangkan Tamaki menatap Ryota kaget.

Kabe-don!

Gerakan yang biasanya ada di shoujo manga. Ketika seorang perempuan dihimpit ke tembok oleh laki-laki dan gerakannya ditahan oleh tangan si laki-laki. Sekarang itu terjadi padanya! Sialan. Apakah Ryota berniat membuat Tamaki merasa didominasi? Tamaki menatap Ryota tak percaya.

"Aku mohon bergabunglah dengan klub band." Raut wajah Ryota sangat serius.

Anak ini...

Tamaki menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Shinomiya-san–"

"Ryota," ralat Ryota.

"Shinomiya-kun!" Tamaki kesal. "Lepaskan."

"Tidak."

"Aku bilang lepaskan!"

"Tidak mau!"

Apakah yang sedang dihadapi Tamaki sekarang adalah anak SD?

"Kumohon berhentilah memaksaku."

"Tapi aku benar-benar ingin kau menjadi vokalis klub band."

Tamaki menatap bola mata Ryota jengkel. Namun sialnya, bola mata Ryota memancarkan pengharapan besar yang bisa membuat Tamaki luluh.

"... Setidaknya sampai festival berakhir."

"Eh?"

"Aku membutuhkanmu menjadi vokalis saat festival budaya nanti. Kau boleh berhenti saat festival berakhir."

Tamaki menimbang-nimbang. Dua bulan lagi sampai festival sekolah, setelah itu semua berakhir. Apakah Tamaki harus menerima 'paksaan' Ryota?

"Aku mohon. Setelah festival selesai, aku takkan mengganggumu lagi. Aku janji."

Tamaki menatap pundak Ryota kosong. Dua bulan. Hanya dua bulan. Setelah itu kehidupan normalnya yang tenang akan kembali....

"Jika kau tidak mau, maka aku takkan melepaskanmu."

Mendengarnya Tamaki terpaksa menatap bola mata Ryota lagi. Mata itu dipenuhi kesungguhan. Sepertinya Ryota benar-benar tidak akan melepaskannya.

Tamaki mendesah kasar. "Apa boleh buat."

"Eh?"

Tamaki menatap Ryota jengkel. "Aku mengerti. Aku akan menjadi vokalis klub band."

Ryota menatap Tamaki tak percaya. "Sungguh?"

"Tapi hanya sampai festival sekolah," sergah Tamaki.

"Sungguh?" Ryota bertanya lagi.

Tamaki diam, dia tidak ingin mengulang jawaban yang sama.

"Terima kasih!" Ryota menerjang Tamaki dengan pelukan.

"Ugh!" Tamaki terkejut dengan serangan tiba-tiba Ryota. Ryota terus memeluknya sampai Tamaki merasa sesak. Tamaki menepuk pundak Ryota dan berkata dengan sedikit kekusahan, "Cukup. Lepaskan aku."

Ryota melepaskan pelukannya dan menatap Tamaki tanpa rasa bersalah. Mukanya terlihat sangat senang seolah dia memenangkan sebuah piala yang coba diraihnya dengan susah payah. Ryota menarik tangan Tamaki ke suatu tempat, membuat Tamaki terkejut.

"Ayo kita ke klub band." Ryota menjelaskan sebelum Tamaki bertanya.

"Buat apa?"

"Sebenarnya aku sudah berkata pada anggota lain bahwa hari ini aku akan memperkenalkan anggota baru."

"APA?"

Tamaki merasa tenaganya terkuras habis. Dia pasrah ditarik Ryota ke ruang klub.

Love is Called Melody [COMPLETE]Where stories live. Discover now